Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 149/PMK.04/2022

Kategori : PPN, Lainnya

Pembebasan Bea Masuk Dan Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai Atau Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Impor Barang Dan Bahan Untuk Diolah, Dirakit, Atau Dipasang Pada Barang Lain Dengan Tujuan Untuk Diekspor
24 October 2022
Share

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 149/PMK.04/2022

TENTANG

PEMBEBASAN BEA MASUK DAN TIDAK DIPUNGUT PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS IMPOR BARANG
DAN BAHAN UNTUK DIOLAH, DIRAKIT, ATAU DIPASANG PADA BARANG LAIN
DENGAN TUJUAN UNTUK DIEKSPOR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

  1. bahwa ketentuan mengenai pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.04/2018 tentang Pembebasan Bea Masuk dan Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Impor Barang dan Bahan untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang pada Barang Lain dengan Tujuan untuk Diekspor;
  2. bahwa untuk lebih meningkatkan pelayanan kepabeanan melalui penyederhanaan prosedur, perluasan rantai pasok dan saluran ekspor hasil produksi, akomodasi perkembangan proses bisnis kegiatan usaha, serta penyempurnaan kebijakan di bidang fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor pembebasan untuk meningkatkan daya saing, investasi, dan ekspor nasional, sehingga Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.04/2018 tentang Pembebasan Bea Masuk dan Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Impor Barang dan Bahan untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang pada Barang Lain dengan Tujuan untuk Diekspor perlu diganti;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pembebasan Bea Masuk dan Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Impor Barang dan Bahan untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang pada Barang Lain dengan Tujuan untuk Diekspor;

Mengingat :    

  1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736); 
  3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
  4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661); 
  5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
  6. Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
  7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.01/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 954);
  8. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 231/KMK.03/2001 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Impor Barang Kena Pajak yang Dibebaskan dari Pungutan Bea Masuk sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 198/PMK.010/2019 tentang Perubahan Ketujuh atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 231/KMK.03/2001 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Impor Barang Kena Pajak yang Dibebaskan dari Pungutan Bea Masuk (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1697);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMBEBASAN BEA MASUK DAN TIDAK DIPUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS IMPOR BARANG DAN BAHAN UNTUK DIOLAH, DIRAKIT, ATAU DIPASANG PADA BARANG LAIN DENGAN TUJUAN UNTUK DIEKSPOR.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Bea Masuk adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang yang diimpor.
2. Bea Masuk Tambahan adalah tambahan atas Bea Masuk seperti Bea Masuk antidumping, Bea Masuk imbalan, Bea Masuk tindakan pengamanan, dan Bea Masuk pembalasan.
3. Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selanjutnya disebut PPN atau PPN dan PPnBM adalah pajak yang dikenakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
4. Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Pembebasan yang selanjutnya disebut KITE Pembebasan adalah pembebasan Bea Masuk serta PPN atau PPN dan PPnBM terutang tidak dipungut atas impor atau pemasukan barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor.
5. Kemudahan Impor Tujuan Ekspor untuk Industri Kecil Menengah yang selanjutnya disebut KITE IKM adalah kemudahan berupa pembebasan Bea Masuk, serta PPN atau PPN dan PPnBM terutang tidak dipungut atas impor dan/atau pemasukan barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan ekspor dan/atau penyerahan produksi IKM.
6. Perusahaan KITE Pembebasan adalah badan usaha yang telah ditetapkan sebagai penerima fasilitas KITE Pembebasan.
7. Perusahaan KITE IKM adalah badan usaha yang memenuhi kriteria industri kecil atau industri menengah dan telah ditetapkan sebagai penerima fasilitas KITE IKM.
8. Sistem Komputer Pelayanan yang selanjutnya disingkat SKP adalah sistem komputer yang digunakan oleh Kantor Wilayah, KPU, dan Kantor Pabean dalam rangka pengawasan dan pelayanan kepabeanan.
9. Barang dan Bahan adalah barang dan bahan baku, termasuk bahan penolong dan bahan pengemas yang:
a. diimpor;
b. dimasukkan dari tempat penimbunan berikat, kawasan bebas dan/atau kawasan ekonomi khusus yang berasal dari luar daerah pabean; atau
c. dimasukkan dari perusahaan KITE Pembebasan lainnya atau perusahaan KITE IKM,
dengan menggunakan fasilitas KITE Pembebasan, untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain untuk menjadi Hasil Produksi yang mempunyai nilai tambah.
10. Hasil Produksi adalah hasil pengolahan, perakitan, atau pemasangan Barang dan Bahan.
11. Barang dan Bahan Rusak adalah Barang dan Bahan yang mengalami kerusakan dan/atau penurunan mutu dan tidak dapat diproses atau apabila diproses akan menghasilkan Hasil Produksi yang tidak memenuhi kualitas dan/atau standar mutu.
12. Hasil Produksi Rusak adalah Hasil Produksi yang mengalami kerusakan dan/atau penurunan kualitas dan/atau standar mutu.
13. Diolah adalah dilakukan pengolahan untuk menghasilkan Hasil Produksi yang mempunyai nilai tambah.
14. Dirakit adalah dilakukan perakitan dan/atau penyatuan sehingga menghasilkan Hasil Produksi yang mempunyai nilai tambah.
15. Dipasang adalah dilakukan pemasangan, pelekatan dan/atau penggabungan dengan barang lain sehingga menghasilkan Hasil Produksi yang mempunyai nilai tambah.
16. Tempat Penimbunan Berikat adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan Bea Masuk.
17. Gudang Berikat adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang impor, dapat disertai 1 (satu) atau lebih kegiatan berupa pengemasan/pengemasan kembali, penyortiran, penggabungan (kitting), pengepakan, penyetelan, pemotongan, atas barang-barang tertentu dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali.
18. Kawasan Berikat adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang impor dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean guna diolah atau digabungkan sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai.
19. Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang impor dalam jangka waktu tertentu, dengan atau tanpa barang dari dalam Daerah Pabean untuk dipamerkan.
20. Pusat Logistik Berikat adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang asal luar daerah pabean dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean, dapat disertai 1 (satu) atau lebih kegiatan sederhana dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali.
21. Kawasan yang Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Cukai.
22. Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.
23. Mitra Utama Kepabeanan yang selanjutnya disebut MITA Kepabeanan adalah importir dan/atau eksportir yang diberikan pelayanan khusus di bidang kepabeanan.
24. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
25. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
26. Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Cukai.
27. Kantor Wilayah adalah kantor wilayah di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
28. Kantor Pelayanan Utama yang selanjutnya disingkat KPU adalah Kantor Pelayanan Utama di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
29. Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan.


BAB II
RUANG LINGKUP

Pasal 2


(1) Fasilitas KITE Pembebasan diberikan kepada badan usaha yang telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan.
(2) Fasilitas KITE Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. pembebasan Bea Masuk; atau
b. pembebasan Bea Masuk serta PPN atau PPN dan PPnBM terutang tidak dipungut,
atas impor dan/atau pemasukan Barang dan Bahan.
(3) Bea Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga termasuk Bea Masuk Tambahan.


BAB III
PEMBERIAN FASILITAS KITE PEMBEBASAN

Pasal 3


(1) Untuk dapat ditetapkan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan, badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. memiliki jenis usaha industri manufaktur dan memiliki kegiatan pengolahan, perakitan, atau pemasangan;
b. memiliki bukti kepemilikan atau bukti penguasaan yang berlaku untuk waktu paling singkat 3 (tiga) tahun atas lokasi yang akan digunakan untuk kegiatan produksi dan penyimpanan Barang dan Bahan serta Hasil Produksi sejak permohonan penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan diajukan;
c. memiliki sistem pengendalian internal yang memadai;
d. memiliki sistem informasi persediaan berbasis komputer (IT Inventory) untuk pengelolaan barang dengan ketentuan sebagai berikut:
1. memiliki keterkaitan dengan dokumen kepabeanan;
2. dapat diakses secara langsung dan daring (online) oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
3. mampu mencatat pemasukan, pengeluaran, persediaan barang dalam proses, dan saldo barang, secara berkelanjutan, langsung, dan segera;
4. memiliki sistem pelaporan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai sistem informasi persediaan berbasis komputer pada perusahaan yang mendapatkan fasilitas pembebasan;
5. menggunakan kodifikasi dalam pencatatan barangnya; dan
6. menggunakan master data yang sama dengan sistem pencatatan perusahaan; dan
e. memiliki closed circuit television (CCTV) yang dapat diakses secara langsung dan daring (online) oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk pengawasan pemasukan, penyimpanan, dan pengeluaran Barang dan Bahan serta Hasil Produksi.
(2) Badan usaha yang akan ditetapkan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki perizinan berusaha yang berlaku untuk operasional dan/atau komersial sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai perizinan berusaha berbasis risiko; dan
b. merupakan pengusaha kena pajak.
(3) Untuk mendapatkan penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan, badan usaha harus mengajukan permohonan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang mengawasi lokasi pabrik atau lokasi kegiatan usaha badan usaha dengan menggunakan contoh format permohonan sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(4) Permohonan penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diisi secara lengkap dan dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut:
a. isian daftar Barang dan Bahan paling sedikit memuat deskripsi 8 (delapan) digit Harmonized System Code (kode HS); dan
b. isian daftar Hasil Produksi paling sedikit memuat deskripsi 8 (delapan) digit Harmonized System Code (kode HS).
(5) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan secara elektronik melalui sistem aplikasi perizinan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam kerangka online single submission.
(6) Dalam hal terdapat gangguan operasional pada sistem aplikasi perizinan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sehingga permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat disampaikan secara elektronik, permohonan disampaikan secara tertulis kepada Menteri melalui:
a. Kepala Kantor Wilayah melalui Kepala Kantor Pabean; atau
b. Kepala KPU,
yang mengawasi lokasi pabrik dan/atau lokasi kegiatan usaha perusahaan.


Pasal 4


(1) Dalam hal diperlukan, Kepala Kantor Wilayah dan/atau Kepala Kantor Pabean, atau Kepala KPU yang mengawasi lokasi pabrik atau lokasi kegiatan usaha badan usaha dapat meminta badan usaha untuk menunjukkan bukti pemenuhan:
a. kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1); dan
b. persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
(2) Dalam hal badan usaha memiliki lebih dari 1 (satu) lokasi pabrik, permohonan untuk memperoleh penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan diajukan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang mengawasi lokasi pabrik yang mempunyai volume kegiatan impor Barang dan Bahan paling tinggi.

 

Pasal 5


(1) Dalam hal permohonan disampaikan secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5), SKP memberikan respon kepada Kepala KPU atau Kepala Kantor Pabean yang mengawasi lokasi pabrik atau lokasi kegiatan usaha badan usaha untuk:
a. melakukan pemeriksaan dokumen dan pemeriksaan lokasi; dan
b. menerbitkan berita acara pemeriksaan.
(2) Dalam hal permohonan disampaikan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6), Kepala KPU atau Kepala Kantor Pabean yang mengawasi lokasi pabrik atau lokasi kegiatan usaha badan usaha:
a. melakukan pemeriksaan dokumen dan pemeriksaan lokasi; dan
b. menerbitkan berita acara pemeriksaan.
(3) Kegiatan pemeriksaaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat disertai dengan pemeriksaaan terhadap latar belakang perusahaan dan penanggungjawab perusahaan.
(4) Pemeriksaan dokumen, pemeriksaan lokasi, dan penerbitan berita acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung setelah tanggal waktu kesiapan pemeriksaan lokasi dalam permohonan.
(5) Badan usaha yang mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, harus melakukan pemaparan mengenai proses bisnis dan pemenuhan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU.
(6) Pemaparan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dilakukan oleh anggota direksi perusahaan.
(7) Pemaparan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan paling cepat pada hari kerja berikutnya atau paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung setelah tanggal penerbitan berita acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2).
(8) Dalam hal pemaparan tidak dapat dilakukan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU dapat memberikan perpanjangan waktu untuk melakukan pemaparan paling lama 3 (tiga) hari kerja.
(9) Dalam hal pemaparan tidak dilakukan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) atau ayat (8), Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU atas nama Menteri menerbitkan surat penolakan disertai dengan alasan penolakan.
(10) Berdasarkan berita acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) dan hasil pemaparan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU atas nama Menteri memberikan:
a. persetujuan dan menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan; atau
b. penolakan dan menerbitkan surat penolakan dengan menyebutkan alasan penolakan.
(11) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) diberikan paling lambat 1 (satu) jam kerja terhitung setelah pemaparan selesai dilakukan.
(12) Apabila pada saat pemrosesan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) atau Pasal 3 ayat (6), badan usaha dan/atau salah satu atau lebih dari anggota direksi dan/atau komisarisnya sedang menjalani proses peradilan seperti pidana perpajakan, kepabeanan, dan/atau cukai, maka permohonan ditolak dan permohonan dapat diajukan kembali setelah mendapatkan keputusan hukum yang berkekuatan tetap.
(13) Kegiatan pemeriksaan dokumen, pemeriksaan lokasi, pemeriksaan latar belakang perusahaan dan penanggung jawab perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta penilaian atas pemaparan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan melibatkan unit pengawasan.
(14) Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan tidak dapat diberikan kepada badan usaha yang:
a. pernah melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, kepabeanan, dan/atau cukai;
b. salah satu atau lebih dari anggota direksi dan/atau komisarisnya pernah melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, kepabeanan, dan/atau cukai; dan/atau
c. telah dinyatakan pailit oleh pengadilan,
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, selama 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak selesai menjalani hukuman pidana dan/atau penetapan pailit.


Pasal 6


Perusahaan KITE Pembebasan wajib mendayagunakan:
a. sistem informasi persediaan berbasis komputer (IT Inventory) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d; dan
b. closed circuit television (CCTV) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e serta memiliki data rekaman closed circuit television (CCTV) paling sedikit 7 (tujuh) hari terakhir.

 

Pasal 7


(1) Perusahaan KITE Pembebasan wajib memasang papan nama yang paling sedikit mencantumkan nama Perusahaan KITE Pembebasan dan status sebagai perusahaan penerima fasilitas KITE Pembebasan pada setiap lokasi pabrik, lokasi penyimpanan, dan lokasi kegiatan usaha.
(2) Perusahaan KITE Pembebasan wajib melakukan penatausahaan barang asal fasilitas KITE Pembebasan sehingga dalam pencatatan dan/atau pembukuan dapat dibedakan dengan barang yang bukan asal fasilitas KITE Pembebasan dan pemakaian Barang dan Bahan yang dapat ditelusuri (traceable) ke Hasil Produksi.
(3) Perusahaan KITE Pembebasan wajib menyampaikan:
a. laporan keuangan tahunan;
b. laporan mengenai dampak ekonomi pemberian fasilitas KITE Pembebasan;
c. capaian indikator kinerja utama (key performance indicator) yang telah ditargetkan; dan
d. target indikator kinerja utama (key performance indicator) periode berikutnya,
kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan paling lambat pada tanggal 30 Juni setiap tahunnya.


Pasal 8


(1) Dalam hal terdapat perubahan data dalam Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan, Perusahaan KITE Pembebasan harus mengajukan permohonan perubahan data kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang menerbitkan Keputusan Menteri dimaksud.
(2) Permohonan perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan alasan perubahan data dan melampirkan dokumen pendukung dalam bentuk salinan digital (soft copy).
(3) Permohonan perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui SKP.
(4) Dalam hal terdapat gangguan operasional pada SKP, permohonan perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beserta kelengkapannya dapat disampaikan melalui media penyimpanan elektronik.
(5) Dalam hal permohonan perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beserta kelengkapannya tidak dapat disampaikan melalui media penyimpanan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4), permohonan perubahan data beserta kelengkapannya disampaikan secara tertulis kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan.
(6) Atas permohonan perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU dapat melakukan pemeriksaan lapangan.
(7) Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU memberikan persetujuan atau penolakan paling lambat:
a. 5 (lima) jam kerja setelah permohonan perubahan data diterima secara lengkap, dalam hal permohonan perubahan data disampaikan secara elektronik dan tidak dilakukan pemeriksaan lapangan atau analisis lebih lanjut; atau
b. 3 (tiga) hari kerja setelah permohonan perubahan data diterima secara lengkap, dalam hal:
1. permohonan perubahan data disampaikan secara elektronik dan dilakukan pemeriksaan lapangan atau analisis lebih lanjut; atau
2. permohonan perubahan data disampaikan secara tertulis.
(8) Terhadap permohonan perubahan data yang diberikan persetujuan, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU atas nama Menteri menerbitkan Keputusan Menteri mengenai perubahan atas Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan.
(9) Dalam hal terdapat perubahan data dalam Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan yang elemen data perubahannya telah disetujui oleh instansi terkait, dan elemen data tersebut tersedia dalam sistem informasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Perusahaan KITE Pembebasan menyampaikan pemberitahuan perubahan data kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU untuk dilakukan perubahan terhadap Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan dimaksud.
(10) Surat permohonan perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan dengan menggunakan contoh format surat permohonan sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam Peraturan Menteri ini.


BAB IV
IMPOR DAN/ATAU PEMASUKAN, PERIODE KITE
PEMBEBASAN, JAMINAN, PEMERIKSAAN PABEAN,
PENGOLAHAN, PERAKITAN, ATAU PEMASANGAN,
SERTA SUBKONTRAK

Bagian Kesatu
Impor dan/atau Pemasukan

Pasal 9


(1) Barang dan Bahan dapat diimpor dari:
a. luar daerah pabean; atau
b. Pusat Logistik Berikat.
(2) Barang dan Bahan dapat dimasukkan dari:
a. Gudang Berikat;
b. Kawasan Berikat;
c. Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat;
d. Kawasan Bebas;
e. KEK; dan/atau
f. kawasan ekonomi lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah.
(3) Perusahaan KITE Pembebasan dapat melakukan pemasukan Hasil Produksi dari Perusahaan KITE Pembebasan lainnya dan/atau KITE IKM sebagai Barang dan Bahan.
(4) Atas impor Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a:
a. diberikan pembebasan Bea Masuk; dan
b. tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM dalam rangka impor.
(5) Atas impor Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang berasal dari luar daerah pabean:
a. diberikan pembebasan Bea Masuk;
b. tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM dalam rangka impor; dan
c. tidak dikenakan PPN atau PPN dan PPnBM atas penyerahan dalam negeri.
(6) Atas pemasukan Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang berasal dari luar daerah pabean, diberikan pembebasan Bea Masuk.
(7) Atas pemasukan Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang merupakan penyerahan barang kena pajak, pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan barang kena pajak wajib membuat faktur pajak dan memungut PPN atau PPN dan PPnBM sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(8) Atas pemasukan dari Perusahaan KITE Pembebasan lainnya dan/atau KITE IKM sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diberikan pembebasan Bea Masuk.
(9) Atas pemasukan dari Perusahaan KITE Pembebasan lainnya dan/atau KITE IKM sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tanggung jawab atas pungutan negara beralih ke Perusahaan KITE Pembebasan yang menerima barang terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean.
(10) Impor dan/atau pemasukan oleh Perusahaan KITE Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengeluaran barang impor untuk dipakai, Tempat Penimbunan Berikat, Kawasan Bebas, KEK, atau kawasan ekonomi lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah, dan ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai larangan dan/atau pembatasan impor.
(11) Pemasukan Barang dan Bahan dari tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pemasukan dalam rangka impor untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor.
(12) Atas impor dan/atau pemasukan Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), atau ayat (3), memperoleh fasilitas KITE Pembebasan apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. sesuai dengan jenis Barang dan Bahan sebagaimana tercantum dalam lampiran Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan atau Keputusan Menteri mengenai perubahan atas Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan; dan
b. mencantumkan nomor dan tanggal Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan pada pemberitahuan pabean impor dan/atau pemberitahuan pabean untuk pemasukan.
(13) Dalam hal Perusahaan KITE Pembebasan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (12), atas impor dan/atau pemasukan Barang dan Bahan yang terdapat pada pemberitahuan pabean impor dan/atau pemberitahuan pabean untuk pemasukan, tidak diberikan fasilitas KITE Pembebasan.


Bagian Kedua

Periode KITE Pembebasan

Pasal 10


(1) Periode KITE Pembebasan merupakan periode yang diberikan kepada Perusahaan KITE Pembebasan untuk melaksanakan realisasi ekspor, penyerahan Hasil Produksi, atau penyelesaian Barang dan Bahan terhitung sejak tanggal pendaftaran pemberitahuan pabean impor dan/atau pemberitahuan pabean untuk pemasukan.
(2) Periode KITE Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu:
a. paling lama 12 (dua belas) bulan; atau
b. lebih dari 12 (dua belas) bulan, apabila Perusahaan KITE Pembebasan memiliki masa produksi lebih dari 12 (dua belas) bulan.
(3) Periode KITE Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan perpanjangan lebih dari 1 (satu) kali oleh Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU dengan akumulasi jangka waktu perpanjangan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak berakhirnya periode KITE Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Perpanjangan Periode KITE Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diberikan dalam hal terdapat:
a. penundaan ekspor dari pembeli;
b. pembatalan ekspor atau penggantian pembeli;
c. sisa Barang dan Bahan karena adanya batasan minimal pembelian, sehingga belum dapat diproduksi sampai dengan periode KITE Pembebasan berakhir;
d. kondisi kahar (force majeure); dan/atau
e. kondisi lain yang mengakibatkan diperlukannya perpanjangan periode KITE Pembebasan berdasarkan manajemen risiko dan pertimbangan Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU.
(5) Permohonan perpanjangan periode KITE Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan sebelum berakhirnya periode KITE Pembebasan.
(6) Permohonan perpanjangan periode KITE Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan secara elektronik melalui SKP atau secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU.
(7) Atas permohonan perpanjangan periode KITE Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU dapat melakukan pemeriksaan fisik atas keberadaan Barang dan Bahan yang diajukan perpanjangan berdasarkan manajemen risiko.
(8) Atas permohonan perpanjangan periode KITE Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU memberikan persetujuan atau penolakan paling lambat:
a. 5 (lima) jam kerja setelah permohonan perpanjangan periode KITE Pembebasan diterima secara lengkap, dalam hal permohonan perpanjangan periode KITE Pembebasan disampaikan melalui SKP dan tidak dilakukan pemeriksaan lapangan; atau
b. 3 (tiga) hari kerja setelah permohonan perpanjangan periode KITE Pembebasan diterima secara lengkap, dalam hal:
1. permohonan perpanjangan periode KITE Pembebasan disampaikan secara elektronik dan dilakukan pemeriksaan lapangan; atau
2. permohonan perpanjangan periode KITE Pembebasan disampaikan secara tertulis.
(9) Surat permohonan perpanjangan periode KITE Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), disampaikan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Bagian Ketiga
Jaminan

Pasal 11


(1) Perusahaan KITE Pembebasan harus menyerahkan jaminan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas impor dan/atau pemasukan Barang dan Bahan dengan fasilitas KITE Pembebasan.
(2) Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan oleh Perusahaan KITE Pembebasan pada saat pemberitahuan pabean diajukan.
(3) Dalam hal permohonan perpanjangan periode KITE Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (6) disetujui, Perusahaan KITE Pembebasan wajib melakukan perpanjangan jangka waktu jaminan.
(4) Perpanjangan jangka waktu jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum berakhirnya periode jaminan yang akan dilakukan perpanjangan.
(5) Dalam hal tidak dilakukan perpanjangan jangka waktu jaminan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), perpanjangan periode KITE Pembebasan batal dan Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan Perusahaan KITE Pembebasan menerbitkan surat pembatalan perpanjangan periode KITE Pembebasan.
(6) Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jaminan yang dilakukan perpanjangan jangka waktu jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memiliki jangka waktu berlaku paling singkat selama penjumlahan:
a. periode KITE Pembebasan; dan
b. waktu penyampaian dan penelitian laporan pertanggung jawaban.
(7) Jaminan yang diserahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jaminan yang dilakukan perpanjangan jangka waktu jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit sebesar Bea Masuk serta PPN atau PPN dan PPnBM atas Barang dan Bahan sebagaimana diberitahukan dalam pemberitahuan pabean impor dan/atau pemberitahuan pabean untuk pemasukan.
(8) Dalam hal terdapat Bea Masuk Tambahan, nilai jaminan yang diserahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dihitung dengan menambahkan Bea Masuk Tambahan.
(9) Perusahaan KITE Pembebasan dapat menyerahkan jaminan dalam bentuk:
a. jaminan tunai;
b. jaminan bank;
c. jaminan dari perusahaan asuransi berupa customs bond;
d. jaminan Indonesia EximBank (Jaminan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia);
e. jaminan perusahaan penjaminan; atau
f. jaminan perusahaan (corporate guarantee).
(10) Perusahaan KITE Pembebasan dapat menggunakan jaminan perusahaan (corporate guarantee) sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf f setelah mendapat keputusan pemberian izin penggunaan jaminan perusahaan (corporate guarantee).
(11) Untuk mendapatkan izin penggunaan jaminan perusahaan (corporate guarantee), Perusahaan KITE Pembebasan menyerahkan jaminan perusahaan (corporate guarantee) dan mengajukan permohonan kepada Menteri u.p. Direktur Jenderal.
(12) Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf a sampai dengan huruf e disampaikan kepada:
a. Kepala Kantor Wilayah atau kepala KPU yang menerbitkan keputusan penetapan sebagai perusahaan KITE Pembebasan; atau
b. Kepala Kantor Pabean tempat dipenuhinya kewajiban pabean.
(13) Untuk mendapat izin penggunaan jaminan perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (10), perusahaan KITE Pembebasan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Kepala Kantor Wilayah atau kepala KPU yang menerbitkan keputusan penetapan sebagai perusahaan KITE Pembebasan; atau Kepala Kantor Pabean tempat dipenuhinya kewajiban pabean.
b. memiliki kondisi keuangan yang baik, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai jaminan dalam rangka kepabeanan.
(14) Ketentuan lain terkait jaminan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai jaminan dalam rangka kepabeanan.


Bagian Keempat
Pemeriksaan Pabean, Pembongkaran, dan Penyimpanan

Pasal 12


(1) Pejabat Bea dan Cukai melakukan pemeriksaan pabean atas pemberitahuan pabean impor dan/atau pemberitahuan pabean untuk pemasukan barang yang menggunakan fasilitas KITE Pembebasan.
(2) Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara selektif berdasarkan manajemen risiko.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan adanya ketidaksesuaian tarif yang mengakibatkan terjadinya selisih, Perusahaan KITE Pembebasan harus melakukan penyesuaian nilai jaminan.
(4) Penyesuaian nilai jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sepanjang jenis barang sesuai dengan jenis Barang dan Bahan sebagaimana tercantum dalam lampiran Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan.
(5) Pemeriksaan kesesuaian jenis barang dalam pemberitahuan pabean impor dilakukan berdasarkan pada jenis Barang dan Bahan sebagaimana tercantum dalam lampiran Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan saat pengajuan pemberitahuan pabean impor.
(6) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan adanya ketidaksesuaian jumlah dan/atau jenis barang, terhadap kelebihan jumlah dan/atau ketidaksesuaian jenis barang dimaksud tidak dapat diberikan fasilitas KITE Pembebasan.
(7) Temuan atas ketidaksesuaian jumlah dan/atau jenis barang sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dilakukan penelitian dan diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
(8) Penelitian nilai pabean atas pemberitahuan pabean impor dan/atau pemberitahuan pabean untuk pemasukan yang menggunakan fasilitas KITE Pembebasan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai nilai pabean.


Pasal 13


(1) Perusahaan KITE Pembebasan wajib membongkar dan menyimpan Barang dan Bahan serta Hasil Produksi di lokasi yang tercantum dalam Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan.
(2) Perusahaan KITE Pembebasan dapat melakukan pembongkaran dan/atau penyimpanan Barang dan Bahan serta Hasil Produksi di lokasi selain lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah mendapatkan persetujuan dari Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan.
(3) Persetujuan pembongkaran dan/atau penyimpanan di lokasi lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya berlaku untuk 1 (satu) kali pembongkaran dan/atau penyimpanan.
(4) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan KITE Pembebasan mengajukan permohonan izin pembongkaran dan/atau penyimpanan di lokasi lain secara elektronik melalui SKP atau secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU.
(5) Atas permohonan izin pembongkaran dan/atau penyimpanan di lokasi lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dilakukan pemeriksaan lapangan berdasarkan manajemen risiko.
(6) Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU memberikan persetujuan atau penolakan paling lambat:
a. 5 (lima) jam kerja setelah permohonan izin pembongkaran dan/atau penyimpanan di lokasi lain diterima secara lengkap, dalam hal permohonan izin pembongkaran dan/atau penyimpanan di lokasi lain disampaikan secara melalui SKP dan tidak dilakukan pemeriksaan lapangan; atau
b. 3 (tiga) hari kerja setelah permohonan izin pembongkaran dan/atau penyimpanan di lokasi lain diterima secara lengkap, dalam hal:
1. permohonan izin pembongkaran dan/atau penyimpanan di lokasi lain disampaikan secara elektronik dan dilakukan pemeriksaan lapangan; atau
2. permohonan izin pembongkaran dan/atau penyimpanan di lokasi lain disampaikan secara tertulis.
(7) Dalam hal lokasi pembongkaran dan/atau penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipergunakan secara tetap dan/atau berulang, Perusahaan KITE Pembebasan wajib melakukan perubahan data dalam Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan.
(8) Surat permohonan izin pembongkaran dan/atau penyimpanan di lokasi lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Bagian Kelima
Pengolahan, Perakitan, atau Pemasangan Barang dan Bahan,
serta Subkontrak

Pasal 14


Barang dan Bahan wajib Diolah, Dirakit, dan/atau Dipasang pada barang lain untuk menjadi Hasil Produksi yang bernilai tambah.


Pasal 15


(1) Perusahaan KITE Pembebasan dapat mensubkontrakkan sebagian dari kegiatan pengolahan, perakitan, atau pemasangan Barang dan Bahan kepada penerima subkontrak yang tercantum dalam Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan.
(2) Perusahaan KITE Pembebasan dapat melakukan pembongkaran Barang dan Bahan dari pelabuhan bongkar untuk dilakukan kegiatan subkontrak di lokasi perusahaan penerima subkontrak dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang menerbitkan penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan.
(3) Atas pengeluaran Barang dan Bahan untuk subkontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemasukan kembali hasil pekerjaan subkontrak ke Perusahaan KITE Pembebasan berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. pengeluaran dan pemasukan kembali pekerjaan subkontrak menggunakan dokumen subkontrak KITE yang dilampiri dengan dokumen internal Perusahaan KITE Pembebasan; dan
b. dicatat dalam sistem informasi persediaan berbasis komputer (IT Inventory).
(4) Atas pengeluaran Barang dan Bahan untuk subkontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemasukan kembali hasil pekerjaan subkontrak ke Perusahaan KITE Pembebasan, tidak dikenai PPN atau PPN dan PPnBM.
(5) Perusahaan KITE Pembebasan dapat mensubkontrakkan seluruh kegiatan pengolahan, perakitan, atau pemasangan atas kelebihan kontrak yang tidak dapat dikerjakan karena keterbatasan kapasitas produksi kepada penerima subkontrak yang tercantum dalam Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan, dengan ketentuan Perusahaan KITE Pembebasan:
a. berstatus perusahaan terbuka yang sebagian atau seluruh sahamnya dimiliki oleh masyarakat;
b. telah mendapatkan pengakuan sebagai operator ekonomi bersertifikat (authorized ecortomic operator);
c. merupakan importir yang telah ditetapkan sebagai MITA Kepabeanan; atau
d. merupakan perusahaan selain sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, dengan kategori risiko rendah,
dengan persetujuan Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan.
(6) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Perusahaan KITE Pembebasan mengajukan permohonan izin subkontrak kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU dilampiri dengan:
a. paparan mengenai kapasitas produksi; dan
b. perjanjian kerja sama subkontrak yang paling sedikit memuat uraian pekerjaan yang dilakukan.
(7) Dalam hal Perusahaan KITE Pembebasan mensubkontrakkan kegiatan pengolahan, perakitan, atau pemasangan kepada penerima subkontrak yang belum tercantum dalam Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan, Perusahaan KITE Pembebasan wajib mengajukan permohonan izin terlebih dahulu kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan, disertai dengan dokumen pendukung yang paling sedikit berupa:
a. kontrak kegiatan subkontrak; dan
b. izin usaha pengusaha subkontrak.
(8) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) disampaikan secara elektronik melalui SKP atau secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU.
(9) Atas permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (8), Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU memberikan persetujuan atau penolakan paling lambat:
a. 5 (lima) jam kerja setelah permohonan izin diterima secara lengkap, dalam hal permohonan izin disampaikan secara elektronik; atau
b. 3 (tiga) hari kerja setelah permohonan izin diterima secara lengkap, dalam hal permohonan izin disampaikan secara tertulis atau dilakukan pemeriksaan lapangan.
(10) Persetujuan atas permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan (7) hanya berlaku untuk 1 (satu) kali kegiatan subkontrak.
(11) Dalam hal subkontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (7) akan dilakukan secara tetap dan/atau berulang, Perusahaan KITE Pembebasan harus mengajukan perubahan data penerima subkontrak dalam Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan.
(12) Hasil kegiatan subkontrak dapat langsung dilakukan ekspor oleh Perusahaan KITE Pembebasan dari lokasi perusahaan penerima subkontrak dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Kepala Kantor Wilayah yang menerbitkan penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan.
(13) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(14) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disampaikan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(15) Dokumen subkontrak KITE sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a disampaikan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 16


(1) Perusahaan KITE Pembebasan dapat mensubkontrakkan pengerjaan berupa pengolahan, perakitan, atau pemasangan kepada penerima subkontrak di luar daerah pabean, dengan persetujuan Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan.
(2) Kegiatan subkontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam hal secara teknis pekerjaan subkontrak tersebut:
a. tidak dapat dikerjakan di dalam daerah pabean; atau
b. tidak dapat memenuhi standar mutu apabila dikerjakan di dalam daerah pabean.
(3) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan KITE Pembebasan mengajukan permohonan izin subkontrak luar daerah pabean kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan, dengan menyampaikan informasi yang paling sedikit memuat keterangan:
a. alasan perlunya dilakukan kegiatan subkontrak kepada penerima subkontrak di luar daerah pabean;
b. rincian jenis, jumlah, spesifikasi, identitas, dan perkiraan nilai barang yang akan disubkontrakkan;
c. rincian jenis, jumlah, spesifikasi, identitas, dan perkiraan nilai barang hasil kegiatan subkontrak;
d. pelabuhan tempat pelaksanaan ekspor;
e. jenis kegiatan subkontrak; dan
f. perkiraan jangka waktu pengerjaan subkontrak di luar daerah pabean.
(4) Permohonan izin subkontrak luar daerah pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit dilampiri dengan dokumen pendukung berupa kontrak dengan subkontraktor di luar daerah pabean.
(5) Permohonan izin subkontrak luar daerah pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan secara elektronik melalui SKP atau disampaikan secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU.
(6) Atas permohonan izin subkontrak luar daerah pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU memberikan persetujuan atau penolakan paling lambat:
a. 5 (lima) jam kerja setelah permohonan izin subkontrak luar daerah pabean diterima secara lengkap, dalam hal permohonan disampaikan secara elektronik; atau
b. 3 (tiga) hari kerja setelah permohonan izin subkontrak luar daerah pabean diterima secara lengkap, dalam hal permohonan disampaikan secara tertulis.
(7) Kegiatan subkontrak di luar daerah pabean diberitahukan dengan menggunakan pemberitahuan pabean ekspor dengan ketentuan sebagai berikut:
a. kolom jenis ekspor diisi dengan jenis ekspor yang akan diimpor kembali;
b. mencantumkan nomor Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan; dan
c. dilampiri dengan surat persetujuan izin subkontrak di luar daerah pabean.
(8) Terhadap barang ekspor untuk subkontrak di luar daerah pabean dilakukan pemeriksaan pabean yang meliputi:
a. penelitian dokumen; dan
b. pemeriksaan fisik.
(9) Tata cara penyampaian pemberitahuan pabean ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan persetujuan pengeluaran atas barang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengeluaran barang ekspor.
(10) Barang hasil pekerjaan subkontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diimpor kembali dengan ketentuan sebagai berikut:
a. mendapat pembebasan Bea Masuk dan tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM, apabila Perusahaan KITE Pembebasan dapat membuktikan barang yang diimpor kembali merupakan barang yang disubkontrakkan ke luar daerah pabean; dan
b. atas bagian-bagian (parts) yang ditambahkan serta biaya pengerjaannya termasuk ongkos angkutan dan asuransi dikenakan Bea Masuk dan/atau pajak dalam rangka impor.
(11) Untuk mendapatkan pembebasan Bea Masuk dan tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf a, Perusahaan KITE Pembebasan mengajukan permohonan pembebasan Bea Masuk dan tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan disertai dengan rincian jumlah dan jenis barang serta nilai pabean yang dimintakan pembebasan Bea Masuk dan tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM, dan dilampiri dengan:
a. pemberitahuan pabean ekspor;
b. invoice yang mencantumkan harga bagian-bagian (parts) pengganti/yang ditambahkan dan/atau biaya perbaikan/pengerjaan;
c. bill of lading, sea way bill, dan/atau air way bill pada saat ekspor dan impor;
d. surat persetujuan subkontrak di luar daerah pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (6); dan
e. surat keterangan dari pihak terkait di luar negeri yang menjelaskan bahwa barang yang akan diimpor merupakan barang hasil kegiatan subkontrak.
(12) Permohonan pembebasan Bea Masuk dan tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM sebagaimana dimaksud pada ayat (11) disampaikan secara elektronik melalui SKP atau disampaikan secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU.
(13) Atas permohonan pembebasan Bea Masuk dan tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM sebagaimana dimaksud pada ayat (11), Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU atas nama Menteri menerbitkan Keputusan Menteri mengenai pembebasan Bea Masuk dan tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM atas impor kembali barang yang telah diekspor dalam rangka subkontrak luar daerah pabean atau surat penolakan paling lambat:
a. 5 (lima) jam kerja setelah permohonan pembebasan Bea Masuk dan tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM diterima secara lengkap, dalam hal permohonan pembebasan Bea Masuk dan tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM disampaikan secara elektronik; atau
b. 3 (tiga) hari kerja setelah permohonan pembebasan Bea Masuk dan tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM diterima secara lengkap, dalam hal permohonan pembebasan Bea Masuk dan tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM disampaikan secara tertulis.
(14) Atas impor kembali hasil pengerjaan subkontrak di luar daerah pabean yang diberitahukan dengan menggunakan pemberitahuan pabean impor, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. diberitahukan dengan menggunakan jenis pemberitahuan pabean impor untuk dipakai dengan jenis fasilitas impor untuk barang yang diimpor kembali dengan menggunakan fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor;
b. melampirkan surat persetujuan subkontrak di luar daerah pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (6);
c. mencantumkan nomor dan tanggal Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan; dan
d. mencantumkan nomor dan tanggal Keputusan Menteri mengenai pembebasan Bea Masuk dan tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM atas impor kembali barang yang telah diekspor dalam rangka subkontrak luar daerah pabean.
(15) Terhadap impor kembali hasil pengerjaan subkontrak di luar daerah pabean dilakukan pemeriksaan pabean yang meliputi:
a. penelitian dokumen; dan
b. pemeriksaan fisik.
(16) Dalam hal hasil pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (15) menunjukkan kesesuaian jumlah dan jenis barang yang diberitahukan, terhadap barang hasil subkontrak diperlakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (10).
(17) Dalam hal hasil pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (15) menunjukkan adanya ketidaksesuaian jumlah dan/atau jenis barang yang diberitahukan, dilakukan penelitian lebih lanjut oleh unit pengawasan.
(18) Surat permohonan izin subkontrak di luar daerah pabean, disampaikan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(19) Surat permohonan pembebasan Bea Masuk dan tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM atas hasil kegiatan pengolahan, perakitan, atau pemasangan oleh penerima subkontrak di luar daerah pabean, disampaikan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


BAB V
EKSPOR DAN PENYERAHAN

Pasal 17


(1) Perusahaan KITE Pembebasan wajib melakukan ekspor dan/atau penyerahan dalam periode KITE Pembebasan atas seluruh Hasil Produksi.
(2) Ekspor atau penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan dengan cara:
a. ekspor langsung ke luar daerah pabean;
b. ekspor melalui Pusat Logistik Berikat;
c. penyerahan Hasil Produksi ke Perusahaan KITE Pembebasan lainnya atau Perusahaan KITE IKM sebagai bahan untuk digabung, diolah, dirakit, atau dipasang lebih lanjut untuk kemudian diekspor; dan/atau
d. penyerahan Hasil Produksi ke Kawasan Berikat untuk digabung atau diolah lebih lanjut.
(3) Atas Hasil Produksi yang memiliki kandungan Barang dan Bahan yang berasal dari pemasukan Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), wajib dilakukan ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b.


Pasal 18


(1) Atas ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a, Perusahaan KITE Pembebasan wajib:
a. memberitahukan ekspor sebagai kategori ekspor dengan fasilitas KITE Pembebasan; dan
b. mencantumkan nomor dan tanggal Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan, pada pemberitahuan pabean ekspor.
(2) Dalam hal pemberitahuan pabean ekspor tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas ekspor dimaksud tidak dapat digunakan untuk laporan pertanggungjawaban Barang dan Bahan.
(3) Atas ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a, dapat digunakan sebagai pertanggungjawaban Barang dan Bahan yang mendapat fasilitas KITE Pembebasan sepanjang telah diterbitkan laporan hasil penelitian rekonsiliasi ekspor.
(4) Laporan hasil penelitian rekonsiliasi ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan oleh SKP.
(5) Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal perkiraan ekspor, laporan hasil penelitian rekonsiliasi ekspor tidak terbit, Perusahaan KITE Pembebasan dapat mengajukan penerbitan laporan hasil penelitian rekonsiliasi ekspor dengan menginput data pemberitahuan pabean ekspor dan mengunggah dokumen pendukung pada SKP.
(6) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berupa:
a. persetujuan pembetulan pemberitahuan pabean ekspor, dalam hal dilakukan pembetulan pemberitahuan pabean ekspor;
b. invoice;
c. packing list; dan
d. bill of lading, house bill of lading, dan/atau air way bill.
(7) Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU melakukan penelitian terhadap pengajuan penerbitan laporan hasil penelitian rekonsiliasi ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(8) Dalam hal hasil penelitian menunjukkan kesesuaian, diterbitkan laporan hasil penelitian rekonsiliasi ekspor melalui SKP dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal dokumen diterima secara lengkap.
(9) Dalam hal hasil penelitian menunjukkan ketidaksesuaian, pengajuan penerbitan laporan hasil penelitian rekonsiliasi ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikembalikan melalui SKP dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal dokumen diterima secara lengkap.


Pasal 19


(1) Atas ekspor melalui Pusat Logistik Berikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b, Perusahaan KITE Pembebasan wajib:
a. mencantumkan nomor dan tanggal Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan; dan
b. mencantumkan Perusahaan KITE Pembebasan sebagai eksportir pada pemberitahuan pabean ekspor.
(2) Dalam hal pemberitahuan pabean ekspor tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ekspornya tidak dapat digunakan untuk laporan pertanggungjawaban Barang dan Bahan.
(3) Atas ekspor melalui Pusat Logistik Berikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b, dapat digunakan sebagai pertanggungjawaban atas Barang dan Bahan apabila Hasil Produksi telah dikeluarkan dari Pusat Logistik Berikat ke pelabuhan muat untuk diekspor dan telah diterbitkan laporan hasil penelitian rekonsiliasi ekspor.
(4) Laporan hasil penelitian rekonsiliasi ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan oleh SKP.
(5) Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal perkiraan ekspor, laporan hasil penelitian rekonsiliasi ekspor tidak terbit, Perusahaan KITE Pembebasan dapat mengajukan penerbitan laporan hasil penelitian rekonsiliasi ekspor dengan menginput data pemberitahuan pabean ekspor dan mengunggah dokumen pendukung pada SKP paling sedikit berupa:
a. salinan pemberitahuan pabean ekspor melalui Pusat Logistik Berikat;
b. salinan dokumen Pemberitahuan Penggabungan dan/atau Pemecahan Barang Ekspor dan/atau Transhipment;
c. salinan Nota Pelayanan Ekspor;
d. invoice;
e. packing list; dan
f. bill of lading, house bill of lading, atau airway bill.
(6) Terhadap pengajuan penerbitan laporan hasil penelitian rekonsiliasi ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU melakukan penelitian.
(7) Dalam hal hasil penelitian menunjukkan kesesuaian, diterbitkan laporan hasil penelitian rekonsiliasi ekspor melalui SKP dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal dokumen diterima secara lengkap.
(8) Dalam hal hasil penelitian menunjukkan ketidaksesuaian, pengajuan penerbitan laporan hasil penelitian rekonsiliasi ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikembalikan melalui SKP dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal dokumen diterima secara lengkap.
(9) Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai ekspor dan Pusat Logistik Berikat.


Pasal 20


(1) Atas penyerahan Hasil Produksi ke Perusahaan KITE Pembebasan lain atau Perusahaan KITE IKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. tidak memiliki kandungan Barang dan Bahan yang berasal dari pemasukan Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3);
b. menggunakan pemberitahuan pabean penyelesaian barang asal impor yang mendapat kemudahan impor tujuan ekspor;
c. melunasi PPN atau PPN dan PPnBM atas Barang dan Bahan yang pada saat impor atau pemasukan mendapatkan fasilitas KITE Pembebasan; dan
d. Perusahaan KITE Pembebasan yang menyerahkan Hasil Produksi wajib membuat faktur pajak serta memungut PPN atau PPN dan PPnBM, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung besaran PPN atau PPN dan PPnBM yang harus dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sebesar nilai impor dan/atau pemasukan.
(3) PPN atau PPN dan PPnBM yang harus dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terutang pada saat penyerahan barang.
(4) Dalam hal pelunasan PPN atau PPN dan PPnBM dilakukan setelah saat terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perusahaan KITE Pembebasan dikenakan sanksi keterlambatan penyetoran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(5) Tanggung jawab atas Bea Masuk yang terutang atas penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c beralih ke Perusahaan KITE Pembebasan atau Perusahaan KITE IKM penerima barang, terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean penyelesaian barang asal impor yang mendapat kemudahan impor tujuan ekspor.
(6) Penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c dapat digunakan sebagai pertanggungjawaban atas Barang dan Bahan apabila dilakukan dalam periode KITE pembebasan dan telah diterima oleh Perusahaan KITE Pembebasan atau Perusahaan KITE IKM penerima barang.


Pasal 21


(1) Atas penyerahan Hasil Produksi ke Kawasan Berikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d, berlaku ketentuan:
a. tidak memiliki kandungan Barang dan Bahan yang berasal dari pemasukan Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3);
b. menggunakan pemberitahuan pabean penyelesaian barang asal impor yang mendapat kemudahan impor tujuan ekspor;
c. melunasi PPN atau PPN dan PPnBM atas Barang dan Bahan yang pada saat impor atau pemasukan mendapatkan fasilitas KITE Pembebasan; dan
d. Perusahaan KITE Pembebasan yang menyerahkan Hasil Produksi wajib membuat faktur pajak serta memungut PPN atau PPN dan PPnBM, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung besaran PPN atau PPN dan PPnBM yang harus dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sebesar nilai impor dan/atau pemasukan.
(3) PPN atau PPN dan PPnBM yang harus dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terutang pada saat penyerahan barang.
(4) Dalam hal pelunasan PPN atau PPN dan PPnBM dilakukan setelah saat terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perusahaan KITE Pembebasan dikenakan sanksi keterlambatan penyetoran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(5) Penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d mendapat penangguhan Bea Masuk.
(6) Tanggung jawab atas Bea Masuk yang terutang atas penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d beralih ke Kawasan Berikat terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean penyelesaian barang asal impor yang mendapat kemudahan impor tujuan ekspor.
(7) Penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d dapat digunakan sebagai pertanggungjawaban atas Barang dan Bahan dalam hal dilakukan dalam periode KITE pembebasan dan telah mendapat persetujuan pemasukan ke Kawasan Berikat.


BAB VI
PENYELESAIAN

Bagian Kesatu
Penyelesaian Barang dan Bahan

Pasal 22


(1) Barang dan Bahan yang diimpor dan/atau dimasukkan oleh Perusahaan KITE Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), diselesaikan dengan cara Diolah, Dirakit, dan/atau Dipasang untuk diekspor atau dilakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2).
(2) Barang dan Bahan yang dimasukkan oleh Perusahaan KITE Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), diselesaikan dengan cara Diolah, Dirakit, dan/atau Dipasang untuk diekspor:
a. ke luar daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a; dan/atau
b. melalui Pusat Logistik Berikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b.
(3) Barang dan Bahan Rusak, yang tidak dapat Diolah, Dirakit, atau Dipasang, diselesaikan dengan cara dimusnahkan, diekspor kembali, atau dikembalikan.
(4) Barang dalam proses (work in process) rusak sehingga tidak dapat Diolah, Dirakit, dan/atau Dipasang, diselesaikan dengan cara dimusnahkan.
(5) Hasil Produksi Rusak diselesaikan dengan cara dimusnahkan.
(6) Barang dan Bahan Rusak, yang karena sifat barang tersebut tidak dapat dimusnahkan, dan tidak dapat diekspor kembali atau dikembalikan, diselesaikan dengan cara dirusak.
(7) Barang dalam proses (work in process) rusak dan Hasil Produksi Rusak, yang karena sifat barang tersebut tidak dapat dimusnahkan, diselesaikan dengan cara dirusak.
(8) Penyelesaian dengan cara dirusak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) dilakukan dengan mengubah bentuk menjadi tidak sempurna dan tidak utuh serta mengubah fungsi sehingga tidak dapat digunakan kembali sebagaimana fungsi sebelum dirusak.
(9) Penyelesaian dengan cara dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dan/atau dirusak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) dilakukan di bawah pengawasan Kantor Pabean.
(10) Terhadap hasil penyelesaian dengan cara dirusak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7), Perusahaan KITE Pembebasan wajib:
a. membayar Bea Masuk sebesar:
1. 5% (lima persen) dikalikan harga jual, dalam hal tarif Bea Masuk umum (Most Favoured Nation) Barang dan Bahannya 5% (lima persen) atau lebih; atau
2. tarif yang berlaku dikalikan harga jual, dalam hal tarif Bea Masuk umum (Most Favoured Nation) Barang dan Bahannya kurang dari 5% (lima persen);
b. melunasi PPN atau PPN dan PPnBM yang pada saat impor atau pemasukan mendapatkan fasilitas KITE Pembebasan; dan
c. membuat faktur pajak dan memungut PPN atau PPN dan PPnBM, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(11) Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung besarnya PPN atau PPN dan PPnBM yang harus dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf b sebesar harga jual.
(12) Saat terutangnya PPN atau PPN dan PPnBM yang harus dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf b yaitu bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf a.
(13) Dalam hal pelunasan PPN atau PPN dan PPnBM dilakukan setelah saat terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (12) Perusahaan KITE Pembebasan dikenakan sanksi keterlambatan penyetoran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(14) Barang dan Bahan sisa, tidak sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan, atau tidak lagi digunakan untuk produksi, yang diimpor dari luar daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dapat diekspor kembali atau dimusnahkan.
(15) Barang dan Bahan tidak sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan, yang dimasukkan dari tempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) atau ayat (3) dapat dikembalikan (retur) atau dimusnahkan dengan persetujuan Kepala Kantor Pabean yang mengawasi tempat lokasi pengolahan atau pabrik.
(16) Penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7), ayat (14), dan ayat (15) wajib dilakukan dalam periode KITE Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2).


Pasal 23


(1) Perusahaan KITE Pembebasan yang akan melakukan pemusnahan, penyelesaian dengan cara dirusak atau pengembalian (retur) terhadap barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) sampai dengan ayat (7), ayat (14), dan ayat (15), harus mengajukan pemberitahuan pabean penyelesaian barang fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor dan mendapatkan persetujuan Kepala Kantor Pabean yang mengawasi tempat lokasi pengolahan atau pabrik.
(2) Pemusnahan atau penyelesaian dengan cara dirusak sebagaimana dimaksud pada ayat(l) terhadap Barang dan Bahan Rusak, barang dalam proses (work in process) rusak, dan Hasil Produksi Rusak, yang sifatnya lekas busuk dan/atau membahayakan kesehatan, dapat dilakukan terlebih dahulu dengan menyampaikan pemberitahuan kepada Kepala Kantor Pabean yang mengawasi lokasi tempat pengolahan atau pabrik.
(3) Perusahaan KITE Pembebasan yang akan melakukan ekspor kembali Barang dan Bahan Rusak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) atau Barang dan Bahan sisa, tidak sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan atau tidak lagi digunakan untuk produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (14), harus mengajukan permohonan persetujuan ekspor kembali kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan.
(4) Permohonan ekspor kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dilampiri dengan invoice dan packing list dan disampaikan secara elektronik melalui SKP atau secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU.
(5) Terhadap ekspor kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. jenis barang harus sesuai dengan yang diberitahukan pada pemberitahuan impor barang; dan
b. jumlah barang yang diajukan dalam permohonan tidak melebihi jumlah barang yang diberitahukan pada pemberitahuan impor barang.
(6) Terhadap barang yang dilakukan ekspor kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan pemeriksaan fisik barang.
(7) Dalam hal hasil pemeriksaan fisik barang kedapatan barang yang diekspor kembali berbeda dengan persetujuan yang diberikan oleh Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU, diserahkan kepada unit pengawasan untuk dilakukan penelitian dan diproses lebih lanjut sesuai dengan peraturan perundangan-undangan di bidang kepabeanan.
(8) Ketentuan mengenai pengenaan bea keluar atas barang ekspor kembali dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pemungutan bea keluar.
(9) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), disampaikan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf J yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 24


(1) Atas Barang dan Bahan yang tidak dilakukan penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) sampai dengan ayat (7), ayat (14), atau ayat (15), Perusahaan KITE Pembebasan wajib melunasi:
a. Bea Masuk atas Barang dan Bahan yang pada saat impor atau pemasukan mendapatkan fasilitas KITE Pembebasan;
b. Bea Masuk Tambahan dalam hal Barang dan Bahan yang diimpor atau dimasukkan dikenakan Bea Masuk Tambahan;
c. PPN atau PPN dan PPnBM atas Barang dan Bahan yang pada saat impor atau pemasukan mendapatkan fasilitas KITE Pembebasan;
d. sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengenaan sanksi administrasi berupa denda di bidang kepabeanan; dan
e. sanksi administrasi atas PPN atau PPN dan PPnBM sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan,
karena tidak memenuhi ketentuan pemberian fasilitas KITE Pembebasan.
(2) Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung besaran PPN atau PPN dan PPnBM yang harus dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sebesar nilai impor atau pemasukan.
(3) Saat terutangnya PPN atau PPN dan PPnBM yang harus dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yaitu pada saat impor atau pemasukan.
(4) PPN atau PPN dan PPnBM yang dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak dapat dikreditkan.


Bagian Kedua
Penyelesaian Sisa Proses Produksi (Scrap/Waste)

Pasal 25


(1) Terhadap sisa proses produksi (scrap/waste) dapat dilakukan penyelesaian dengan cara dimusnahkan, diekspor, atau dijual kepada pihak lain di tempat lain dalam daerah pabean.
(2) Sisa proses produksi (scrap/waste) dikecualikan dari penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila sisa proses produksi (scrap/waste) hilang dalam proses produksi berdasarkan karakteristiknya seperti menguap, menyublim, menyusut, dan/atau sejenisnya.
(3) Perusahaan KITE Pembebasan wajib memberikan penjelasan atas sisa proses produksi (scrap/waste) yang hilang dalam proses produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam surat pernyataan yang ditandatangani oleh pimpinan perusahaan.
(4) Pemusnahan dan/atau penjualan ke pihak lain di tempat lain dalam daerah pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan pemberitahuan pabean penyelesaian barang fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor yang mendapatkan persetujuan Kepala Kantor Pabean yang mengawasi tempat lokasi pengolahan atau pabrik.
(5) Dalam hal sisa proses produksi (scrap/waste) dijual kepada pihak lain di tempat lain dalam daerah pabean sebagaimana dimaksud ayat (1), Perusahaan KITE Pembebasan wajib:
a. membayar Bea Masuk sebesar 5% (lima persen) dikalikan harga jual;
b. melunasi PPN atau PPN dan PPnBM atas Barang dan Bahan yang pada saat impor atau pemasukan mendapatkan fasilitas KITE Pembebasan; dan
c. membuat faktur pajak dan memungut PPN atau PPN dan PPnBM, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(6) Dalam hal sisa proses produksi (scrap/waste) dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemusnahan dilakukan dengan pengawasan Kantor Pabean yang mengawasi lokasi tempat pengolahan atau pabrik.
(7) Dalam hal sisa proses produksi (scrap/waste) tidak dilakukan penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau secara fisik tidak terdapat di lokasi perusahaan KITE Pembebasan pada saat dilakukan pemeriksaan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan/atau Direktorat Jenderal Pajak, Perusahaan KITE Pembebasan wajib:
a. membayar Bea Masuk sebesar 5% (lima persen) dikalikan harga wajar; dan
b. melunasi PPN atau PPN dan PPnBM atas Barang dan Bahan yang pada saat impor atau pemasukan mendapatkan fasilitas KITE Pembebasan.
(8) Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung besaran PPN atau PPN dan PPnBM yang wajib dilunasi sebagaimana dimaksud pada:
a. ayat (5) huruf b yaitu sebesar harga jual; dan
b. ayat (7) huruf b yaitu sebesar harga wajar.
(9) Saat terutangnya PPN atau PPN dan PPnBM yang harus dilunasi sebagaimana dimaksud pada:
a. ayat (5) huruf b yaitu pada saat penyerahan barang; dan
b. ayat (7) huruf b yaitu pada saat impor atau pemasukan.
(10) Dalam hal pelunasan PPN atau PPN dan PPnBM dilakukan setelah saat terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (9), Perusahaan KITE Pembebasan dikenakan sanksi keterlambatan penyetoran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

 

BAB VII
PEMBEBASAN DARI KEWAJIBAN KEPABEANAN DAN
PERPAJAKAN KARENA KEADAAN TERTENTU

Pasal 26

(1) Perusahaan KITE Pembebasan dibebaskan dari kewajiban membayar:
a. Bea Masuk serta PPN atau PPN dan PPnBM atas Barang dan Bahan yang pada saat impor atau pemasukan mendapat fasilitas KITE Pembebasan;
b. Bea Masuk Tambahan dalam hal Barang dan Bahan yang diimpor atau dimasukkan dikenakan Bea Masuk Tambahan;
c. sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengenaan sanksi administrasi berupa denda di bidang kepabeanan; dan
d. sanksi administrasi atas PPN atau PPN dan PPnBM sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan,
atas Barang dan Bahan yang belum dipertanggungjawabkan, dalam hal terjadi keadaan tertentu.
(2) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kondisi kahar (force majeure) yang dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi yang berwenang.
(3) Pembebasan dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan dalam hal:
a. Barang dan Bahan telah musnah atau hilang; dan
b. periode KITE Pembebasan belum berakhir saat keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terjadi.
(4) Pembebasan dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan persetujuan Kepala Kantor Wilayah atau KPU yang menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan Perusahaan KITE Pembebasan dengan menerbitkan Keputusan Menteri.
(5) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Perusahaan KITE Pembebasan menyampaikan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU dengan melampirkan:
a. bukti keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) seperti surat keterangan dari instansi yang berwenang; dan
b. pernyataan jenis, jumlah, dan uraian barang yang musnah atau hilang berdasarkan pemberitahuan pabean impor dan/atau pemasukan.

 


BAB VIII
PERTANGGUNGJAWABAN

Pasal 27


(1) Perusahaan KITE Pembebasan wajib membuktikan penyelesaian atas seluruh Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sebagai pertanggungjawaban atas seluruh Barang dan Bahan.
(2) Pertanggungjawaban atas seluruh Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam 1 (satu) laporan pertanggungjawaban atau lebih.
(3) Laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal periode KITE Pembebasan berakhir.
(4) Kewajiban penyampaian laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terpenuhi apabila telah mendapatkan register.
(5) SKP menyampaikan pemberitahuan pertama kepada Perusahaan KITE Pembebasan bahwa periode KITE Pembebasan akan segera berakhir dan terdapat saldo Barang dan Bahan yang belum disampaikan laporan pertanggungjawabannya, 30 (tiga puluh) hari sebelum periode KITE Pembebasan berakhir.
(6) SKP menyampaikan pemberitahuan kedua kepada Perusahaan KITE Pembebasan bahwa periode KITE pembebasan telah berakhir dan terdapat saldo Barang dan Bahan yang belum disampaikan laporan pertanggungjawabannya, pada saat periode KITE pembebasan berakhir.
(7) SKP menyampaikan pemberitahuan ketiga kepada Perusahaan KITE Pembebasan bahwa periode penyampaian laporan pertanggungjawaban akan segera berakhir dan terdapat saldo Barang dan Bahan yang belum disampaikan laporan pertanggungjawabannya, 30 (tiga puluh) hari sebelum batas waktu penyampaian laporan pertanggungjawaban berakhir.
(8) Dalam hal sampai berakhirnya batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), terdapat saldo Barang dan Bahan yang tidak disampaikan laporan pertanggungjawaban, SKP melakukan pembekuan fasilitas KITE Pembebasan dan Perusahaan KITE Pembebasan wajib melunasi:
a. Bea Masuk atas Barang dan Bahan yang pada saat impor atau pemasukan mendapatkan fasilitas KITE Pembebasan;
b. Bea Masuk Tambahan dalam hal Barang dan Bahan yang diimpor atau dimasukkan dikenakan Bea Masuk Tambahan;
c. PPN atau PPN dan PPnBM atas Barang dan Bahan yang pada saat impor atau pemasukan mendapatkan fasilitas KITE Pembebasan;
d. sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengenaan sanksi administrasi berupa denda di bidang kepabeanan; dan
e. sanksi administrasi atas PPN atau PPN dan PPnBM sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan,
karena tidak memenuhi ketentuan pemberian fasilitas KITE Pembebasan.
(9) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dikecualikan dalam hal jumlah nilai Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, dan PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang kurang dari atau sama dengan Rp 100.000,00 (seratus ribu Rupiah).
(10) Dalam hal saldo Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) terutang nilai Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, serta PPN atau PPN dan PPnBM kurang dari atau sama dengan Rpl00.000,00 (seratus ribu Rupiah), diselesaikan dengan cara:
a. diajukan permohonan penyelesaian atas kewajiban oleh Perusahaan KITE Pembebasan; atau
b. diakumulasi dan dilakukan penetapan tagihan pada akhir periode tahun berjalan oleh Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan Perusahaan KITE Pembebasan.
(11) Atas penyelesaian saldo Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (10), Perusahaan KITE Pembebasan wajib melunasi:
a. Bea Masuk atas Barang dan Bahan yang pada saat impor atau pemasukan mendapatkan fasilitas KITE Pembebasan;
b. Bea Masuk Tambahan apabila Barang dan Bahan yang diimpor atau dimasukkan dikenakan Bea Masuk Tambahan;
c. PPN atau PPN dan PPnBM atas Barang dan Bahan yang pada saat impor atau pemasukan mendapatkan fasilitas KITE Pembebasan;
d. sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengenaan sanksi administrasi berupa denda di bidang kepabeanan; dan
e. sanksi administrasi atas PPN atau PPN dan PPnBM sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(12) Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung besaran PPN atau PPN dan PPnBM yang wajib dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf c dan ayat (11) huruf c yaitu sebesar nilai impor atau pemasukan.
(13) Saat terutangnya PPN atau PPN dan PPnBM yang wajib dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf c dan ayat (11) huruf c yaitu pada saat impor atau pemasukan barang.
(14) PPN atau PPN dan PPnBM yang dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf c dan ayat (11) huruf c tidak dapat dikreditkan.
(15) Atas pelunasan PPN atau PPN dan PPnBM yang dilakukan setelah saat terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (13), Perusahaan KITE Pembebasan dikenakan sanksi keterlambatan penyetoran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


Pasal 28


(1) Laporan pertanggungjawaban atas Barang dan Bahan yang diselesaikan dengan cara diekspor atau dilakukan penyerahan Hasil Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) paling sedikit memuat informasi mengenai:
a. Hasil Produksi serta pemakaian Barang dan Bahan (konversi); dan
b. sisa proses produksi (scrap/waste).
(2) Laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus memenuhi ketentuan:
a. kebenaran impor dan/atau pemasukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3);
b. kebenaran realisasi ekspor atau penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; dan
c. Hasil Produksi memiliki nilai tambah.
(3) Laporan pertanggungjawaban atas Barang dan Bahan yang diselesaikan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) sampai dengan ayat (7), ayat (14), dan ayat (15) paling sedikit memuat informasi mengenai:
a. Barang dan Bahan Rusak, barang dalam proses (work in process) rusak, Hasil Produksi Rusak, Barang dan Bahan sisa, Barang dan Bahan tidak sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan, dan/atau Barang dan Bahan yang tidak lagi digunakan untuk produksi; dan
b. pemakaian Barang dan Bahan.
(4) Laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit harus memenuhi ketentuan:
a. kebenaran impor dan/atau pemasukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3); dan
b. kebenaran realisasi penyelesaian dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) sampai dengan ayat (7) dan Pasal 22 ayat (14) sampai dengan ayat (15).
(5) Laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilengkapi dengan data pada:
a. pemberitahuan pabean impor atau pemberitahuan pabean untuk pemasukan yang telah mendapatkan persetujuan pengeluaran dari Pejabat Bea dan Cukai; dan
b. pemberitahuan pabean ekspor, pemberitahuan pabean untuk penyerahan dan/atau penyelesaian berupa:
1. pemberitahuan pabean ekspor yang telah diterbitkan laporan hasil penelitian rekonsiliasi ekspor;
2. pemberitahuan pabean ekspor melalui Pusat Logistik Berikat yang dilengkapi dengan dokumen Pemberitahuan Penggabungan Dan/Atau Pemecahan Barang Ekspor dan/atau Transhipment, yang telah diterbitkan laporan hasil penelitian rekonsiliasi ekspor;
3. pemberitahuan pabean untuk penyerahan ke Perusahaan KITE Pembebasan lainnya atau Perusahaan KITE IKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c yang barangnya telah diterima oleh Perusahaan KITE Pembebasan atau Perusahaan KITE IKM penerima barang;
4. pemberitahuan pabean untuk penyerahan ke Kawasan Berikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d yang telah mendapat persetujuan pemasukan ke Kawasan Berikat;
5. pemberitahuan pabean untuk penyelesaian Barang dan Bahan Rusak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3), barang dalam proses (work in process) rusak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4), dan/atau Hasil Produksi Rusak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (5) serta berita acara pemusnahan dalam hal diselesaikan dengan cara dimusnahkan;
6. pemberitahuan pabean untuk penyelesaian Barang dan Bahan Rusak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (6), barang dalam proses (work in process) rusak, dan/atau Hasil Produksi Rusak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (7) serta berita acara penyelesaian dengan cara dirusak dalam hal diselesaikan dengan cara dirusak; atau
7. pemberitahuan pabean untuk penyelesaian Barang dan Bahan sisa atau tidak sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan atau tidak lagi digunakan dalam proses produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (14) dan ayat (15), serta berita acara pemusnahan dalam hal diselesaikan dengan cara dimusnahkan.


Pasal 29


(1) Laporan pertanggungjawaban Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 disampaikan melalui SKP.
(2) Dalam hal terdapat gangguan operasional pada SKP, laporan pertanggungjawaban Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 beserta kelengkapannya dapat disampaikan melalui media penyimpanan elektronik.
(3) Dalam hal laporan pertanggungjawaban Barang dan Bahan tidak dapat disampaikan melalui media penyimpanan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), laporan pertanggungjawaban Barang dan Bahan beserta kelengkapannya disampaikan secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan.
(4) Terhadap laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SKP melakukan validasi terhadap kebenaran:
a. impor dan/atau pemasukan; dan
b. transaksi ekspor atau penyelesaian lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
(5) Terhadap laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan melakukan validasi terhadap kebenaran:
a. impor dan/atau pemasukan; dan
b. transaksi ekspor atau penyelesaian lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
(6) Dalam hal hasil validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau ayat (5) menunjukkan kesesuaian, laporan pertanggungjawaban diberikan register.
(7) Dalam hal hasil validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau ayat (5) menunjukkan adanya ketidaksesuaian, laporan pertanggungjawaban dikembalikan disertai dengan alasan.
(8) Terhadap laporan pertanggungjawaban yang telah mendapatkan register sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU melakukan penelitian terhadap:
a. pemenuhan periode KITE Pembebasan;
b. nilai tambah atas Hasil Produksi dengan membandingkan nilai ekspor Hasil Produksi dan nilai impor Barang dan Bahan yang digunakan; dan
c. hal lain yang diperlukan penelitian berdasarkan pertimbangan Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai perusahaan KITE Pembebasan.
(9) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diperlukan informasi lebih lanjut, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU dapat meminta konfirmasi atau data pendukung kepada Perusahaan KITE Pembebasan.
(10) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian terhadap nilai tambah sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf b, nilai ekspor Hasil Produksi lebih kecil dibandingkan nilai impor Barang dan Bahan yang digunakan, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU meminta bukti berupa data pendukung yang menunjukkan adanya kondisi yang menyebabkan nilai ekspor lebih kecil dibanding nilai impor.
(11) Perusahaan KITE Pembebasan harus memberikan konfirmasi atau data pendukung yang diminta sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dan ayat (10) dan/atau perbaikan data paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal permintaan.
(12) Terhadap konfirmasi atau data pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (11), Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU melakukan:
a. penelitian; dan/atau
b. monitoring dan/atau evaluasi apabila diperlukan.
(13) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian dan/atau monitoring dan/atau evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (12), ditemukan nilai ekspor lebih kecil dari pada nilai impor disebabkan adanya penyalahgunaan fasilitas berupa kecurangan seperti penggantian Barang dan Bahan dengan barang lain, Barang dan Bahan yang yang diajukan dalam laporan pertanggungjawaban ditolak.
(14) Dalam hal Perusahaan KITE Pembebasan tidak menyampaikan konfirmasi atau data pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (11), penelitian tetap dilakukan berdasarkan data laporan pertanggungjawaban yang tersedia.


Pasal 30


(1) Laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 diberikan putusan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal register sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (6).
(2) Keputusan atas laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. menyetujui seluruhnya;
b. menyetujui sebagian; atau
c. menolak seluruhnya.
(3) Terhadap laporan pertanggungjawaban yang disetujui seluruhnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang
menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan:
a. menyesuaikan saldo Barang dan Bahan; dan
b. menerbitkan surat penyesuaian atau pengembalian jaminan.
(4) Terhadap laporan pertanggungjawaban yang disetujui sebagian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan:
a. menyesuaikan saldo Barang dan Bahan atas saldo Barang dan Bahan yang disetujui;
b. menerbitkan surat penyesuaian atau pengembalian jaminan atas saldo Barang dan Bahan yang disetujui; dan
c. menerbitkan surat penolakan disertai alasan atas saldo Barang dan Bahan yang ditolak.
(5) Penyesuaian saldo Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan ayat (4) huruf a berdasarkan pemakaian Barang dan Bahan termasuk sisa proses produksinya.
(6) Dalam hal Barang dan Bahan yang disampaikan dalam laporan pertanggungjawaban merupakan Barang dan Bahan yang Hasil Produksinya:
a. diekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a dan huruf b; dan/atau
b. dilakukan penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) sampai (7), ayat (14), dan ayat (15),
melebihi periode KITE pembebasan, dapat diberikan persetujuan dengan ketentuan Perusahaan KITE Pembebasan wajib membayar pungutan negara yang terutang.
(7) Pungutan negara yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berupa:
a. Bea Masuk atas Barang dan Bahan yang pada saat impor atau pemasukan mendapat fasilitas KITE Pembebasan;
b. Bea Masuk Tambahan dalam hal Barang dan Bahan yang diimpor atau dimasukkan dikenakan Bea Masuk Tambahan; dan
c. PPN atau PPN dan PPnBM atas Barang dan Bahan yang pada saat impor atau pemasukan mendapat fasilitas KITE Pembebasan.
(8) Terhadap Barang dan Bahan yang disetujui laporan pertanggungjawabannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila dikemudian hari berdasarkan hasil audit kepabeanan atau penelitian kembali terdapat bukti lain yang mengakibatkan kekurangan pembayaran Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, PPN atau PPN dan PPnBM, serta sanksi administrasi di bidang kepabeanan dan perpajakan, Perusahaan KITE Pembebasan wajib melunasi kekurangan pembayaran dimaksud.
(9) Terhadap Barang dan Bahan yang disetujui laporan pertanggungjawabannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila dikemudian hari ditemukan bukti bahwa tidak terdapat realisasi penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 atau tidak terdapat Devisa Hasil Ekspor karena tidak ada transaksi ekspor, Perusahaan KITE Pembebasan wajib melunasi:
a. Bea Masuk atas Barang dan Bahan yang pada saat impor atau pemasukan mendapat fasilitas KITE Pembebasan;
b. Bea Masuk Tambahan dalam hal Barang dan Bahan yang diimpor atau dimasukkan dikenakan Bea Masuk Tambahan;
c. PPN atau PPN dan PPnBM atas Barang dan Bahan yang pada saat impor atau pemasukan mendapat fasilitas KITE Pembebasan;
d. sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengenaan sanksi administrasi berupa denda di bidang kepabeanan; dan
e. sanksi administrasi atas PPN atau PPN dan PPnBM sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan,
karena tidak memenuhi ketentuan pemberian fasilitas KITE Pembebasan.
(10) Terhadap laporan pertanggungjawaban yang ditolak seluruhnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diterbitkan surat penolakan disertai alasan.
(11) Terhadap Barang dan Bahan yang ditolak laporan pertanggungjawabannya karena nilai ekspor lebih kecil dari pada nilai impor disebabkan adanya penyalahgunaan fasilitas berupa kecurangan berdasarkan hasil penelitian dan/atau monitoring dan/atau evaluasi Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (13), Perusahaan KITE Pembebasan wajib melunasi:
a. Bea Masuk atas Barang dan Bahan yang pada saat impor atau pemasukan mendapat fasilitas KITE Pembebasan;
b. Bea Masuk Tambahan dalam hal Barang dan Bahan yang diimpor atau dimasukkan dikenakan Bea Masuk Tambahan;
c. PPN atau PPN dan PPnBM atas Barang dan Bahan yang pada saat impor atau pemasukan mendapat fasilitas KITE Pembebasan;
d. sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengenaan sanksi administrasi berupa denda di bidang kepabeanan; dan
e. sanksi administrasi atas PPN atau PPN dan PPnBM sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan,
(12) Terhadap Barang dan Bahan yang ditolak laporan pertanggungjawabannya selain disebabkan nilai ekspor lebih kecil dari pada nilai impor sebagaimana dimaksud pada ayat (11), laporan pertanggungjawaban dapat disampaikan kembali sepanjang jangka waktu
penyampaian laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) belum berakhir.
(13) Terhadap Barang dan Bahan yang ditolak laporan pertanggungjawabannya namun jangka waktu penyampaian laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) telah berakhir, Perusahaan KITE Pembebasan wajib melunasi:
a. Bea Masuk atas Barang dan Bahan yang pada saat impor atau pemasukan mendapat fasilitas KITE Pembebasan;
b. Bea Masuk Tambahan dalam hal Barang dan Bahan yang diimpor atau dimasukkan dikenakan Bea Masuk Tambahan;
c. PPN atau PPN dan PPnBM atas Barang dan Bahan yang pada saat impor atau pemasukan mendapat fasilitas KITE Pembebasan;
d. sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengenaan sanksi administrasi berupa denda di bidang kepabeanan; dan
e. sanksi administrasi atas PPN atau PPN dan PPnBM sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(14) Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung besarnya PPN atau PPN dan PPnBM yang harus dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf c, ayat (9) huruf c, ayat (11) huruf c, dan ayat (13) huruf c yaitu sebesar nilai impor atau pemasukan.
(15) Saat terutangnya PPN atau PPN dan PPnBM yang harus dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf c, ayat (9) huruf c, ayat (11) huruf c, dan ayat (13) huruf c yaitu pada saat impor atau pemasukan.
(16) PPN atau PPN dan PPnBM yang dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf c, ayat (9) huruf c, ayat (11) huruf c, dan ayat (13) huruf c, tidak dapat dikreditkan.


BAB IX
MONITORING, EVALUASI, AUDIT DAN PENGAWASAN

Bagian Kesatu
Monitoring dan/atau Evaluasi

Pasal 31


(1) Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan dan/atau Kepala Kantor Pabean yang mengawasi lokasi pabrik atau lokasi kegiatan usaha Perusahaan KITE Pembebasan, melakukan monitoring dan/atau evaluasi terhadap pemberian fasilitas KITE Pembebasan secara periodik.
(2) Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan dan/atau Kepala Kantor Pabean yang mengawasi lokasi pabrik atau lokasi kegiatan usaha Perusahaan KITE Pembebasan, dapat melakukan monitoring secara khusus dengan tujuan tertentu terhadap pemberian fasilitas KITE Pembebasan berdasarkan manajemen risiko, selain kegiatan monitoring dan/atau evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Untuk evaluasi kebijakan fasilitas KITE Pembebasan, Direktur yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang fasilitas kepabeanan pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dapat melakukan monitoring dan/atau evaluasi terhadap pemberian fasilitas KITE Pembebasan.
(4) Perusahaan KITE Pembebasan wajib menyerahkan dokumen dan/atau data yang diperlukan dalam pelaksanaan monitoring dan/atau evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
(5) Dalam hal Perusahaan KITE Pembebasan:
a. tidak bersedia untuk dilakukan monitoring dan/atau evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3); dan/atau
b. tidak menyerahkan dokumen dan/atau data sebagaimana dimaksud pada ayat (4), 
fasilitas KITE Pembebasan dibekukan.
(6) Hasil monitoring dan/atau evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3):
a. disampaikan kepada unit yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang audit kepabeanan dan/atau unit yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang pengawasan kepabeanan sebagai informasi awal;
b. digunakan sebagai dasar untuk melakukan asistensi, pembinaan, apresiasi, pembekuan, dan/atau pencabutan fasilitas KITE Pembebasan; dan/atau
c. digunakan sebagai dasar penagihan Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta sanksi administrasi di bidang kepabeanan dan perpajakan apabila terdapat Barang dan Bahan yang tidak memenuhi ketentuan pemberian fasilitas KITE Pembebasan.
(7) Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU menerbitkan surat penetapan pabean sebagai dasar penagihan atas kewajiban pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(8) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c, tidak dapat dikreditkan.
(9) Pelunasan atau penyelesaian lainnya atas tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat digunakan sebagai pertanggungjawaban penyelesaian Barang dan Bahan.
(10) Perusahaan KITE Pembebasan dapat melakukan kegiatan monitoring mandiri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai monitoring dan evaluasi terhadap penerima fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor.
(11) Kegiatan monitoring dan/atau evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai monitoring dan evaluasi terhadap penerima fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor.


Bagian Kedua
Bagian Audit Kepabeanan

Pasal 32


(1) Untuk menguji kepatuhan Perusahaan KITE Pembebasan atas ketentuan penggunaan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dilakukan audit kepabeanan.
(2) Pelaksanaan kegiatan audit kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meliputi penelusuran Barang dan Bahan ke perusahaan penerima subkontrak.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil audit kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditemukan Barang dan Bahan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan atau tidak memenuhi ketentuan pemberian fasilitas KITE Pembebasan, Perusahaan KITE Pembebasan wajib melunasi:
a. Bea Masuk serta PPN atau PPN dan PPnBM;
b. Bea Masuk Tambahan dalam hal Barang dan Bahan yang diimpor atau dimasukkan dikenakan Bea Masuk Tambahan;
c. sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengenaan sanksi administrasi berupa denda di bidang kepabeanan; dan
d. sanksi administrasi atas PPN atau PPN dan PPnBM sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(4) PPN atau PPN dan PPnBM yang dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, tidak dapat dikreditkan.
(5) Hasil audit kepabeanan disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan.
(6) Hasil audit kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling sedikit harus memuat rincian mengenai:
a. Barang dan Bahan yang telah dilakukan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 atau penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22;
b. saldo Barang dan Bahan yang belum dilakukan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 atau penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan
c. Barang dan Bahan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, 
yang menunjuk pemberitahuan pabean impor dan/atau pemberitahuan pabean untuk pemasukan.
(7) Hasil audit kepabeanan dapat digunakan sebagai pertanggungjawaban atas penyelesaian Barang dan Bahan.
(8) Pelaksanaan audit kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai audit kepabeanan.
(9) Pelaksanaan audit dalam periode tertentu tidak menghilangkan kewajiban perusahaan untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban pada periode audit dimaksud.
(10) Dalam hal berdasarkan penetapan kembali melalui penelitian ulang atau audit ditemukan adanya ketidaksesuaian nilai pabean yang menyebabkan terjadinya kekurangan pembayaran terhadap Barang dan Bahan yang belum dilakukan penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), dilakukan penyesuaian jaminan dan dikenakan denda sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan.
(11) Dalam hal berdasarkan penetapan kembali melalui penelitian ulang atau audit ditemukan kekurangan pembayaran karena pembebanan tarif terhadap Barang dan Bahan yang belum dilakukan penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), dilakukan penyesuaian jaminan dan melakukan pembayaran kekurangan pungutan pajak.


Bagian Ketiga
Bagian Pengawasan

Pasal 33


(1) Pengawasan terhadap Perusahaan KITE Pembebasan dilakukan oleh:
a. Kantor Wilayah atau KPU yang menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan; dan
b. Kantor Wilayah dan Kantor Pabean, atau KPU yang mengawasi lokasi pabrik atau lokasi kegiatan usaha Perusahaan KITE Pembebasan.
(2) Untuk keperluan pengawasan fasilitas KITE Pembebasan, Direktur yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang pengawasan pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan pemeriksaan dan/atau pengawasan terhadap pemberian fasilitas KITE Pembebasan.
(3) Pemeriksaan dan/atau pengawasan terhadap Barang dan Bahan yang diimpor atau dimasukkan dengan menggunakan fasilitas KITE Pembebasan dapat dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak dengan berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.


BAB X
PEMBEKUAN DAN PENCABUTAN

Bagian Kesatu
Pembekuan

Pasal 34


(1) Fasilitas KITE Pembebasan dibekukan dalam hal Perusahaan KITE Pembebasan:
  1. tidak melakukan kegiatan impor dan/atau pemasukan Barang dan Bahan dengan menggunakan fasilitas KITE Pembebasan selama periode 1 (satu) tahun;
  2. ditemukan data yang tidak sesuai dengan data pada Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan;
  3. tidak memenuhi ketentuan pembongkaran dan/atau penyimpanan Barang dan Bahan serta Hasil Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, paling lama 6 (enam) bulan berdasarkan pertimbangan manajemen risiko Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU;
  4. tidak memenuhi ketentuan subkontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, paling lama 6 (enam) bulan berdasarkan pertimbangan manajemen risiko Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU;
  5. tidak menyampaikan laporan pertanggungjawaban dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (8);
  6. tidak bersedia untuk dilakukan monitoring dan/atau evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3);
  7. tidak menyerahkan dokumen dan/atau data yang diperlukan dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (4);
  8. tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1);
  9. tidak melakukan penatausahaan Barang dan Bahan asal fasilitas KITE Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2);
  10. tidak menyerahkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3);
  11. tidak mendayagunakan sistem informasi persediaan berbasis komputer (IT Inventory) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a;
  12. tidak mendayagunakan closed circuit television (CCTV) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b;
  13. diduga melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, kepabeanan, dan/atau cukai dengan bukti permulaan yang cukup berdasarkan rekomendasi penyidik; dan/atau
  14. Perusahaan KITE Pembebasan berubah status menjadi Pengusaha Kawasan Berikat atau Pengusaha di Kawasan Berikat dan permohonan izin Kawasan Berikat telah disetujui.
(2) Dalam hal fasilitas KITE Pembebasan dibekukan, atas impor dan/atau pemasukan Barang dan Bahan tidak diberikan fasilitas KITE Pembebasan sejak tanggal pembekuan.
(3) Pembekuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan hak Perusahaan KITE Pembebasan untuk melakukan kegiatan kepabeanan lain dan kewajiban sebagai Perusahaan KITE Pembebasan.


Pasal 35

(1) Fasilitas KITE Pembebasan yang dibekukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf a dapat diberlakukan kembali, dalam hal Perusahaan KITE Pembebasan melakukan impor dan/atau pemasukan dengan menggunakan fasilitas KITE Pembebasan dengan mengajukan permohonan pemberlakuan kembali fasilitas KITE Pembebasan.
(2) Fasilitas KITE Pembebasan yang dibekukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b dapat diberlakukan kembali, dalam hal Perusahaan KITE Pembebasan telah mengajukan permohonan dan/atau pemberitahuan perubahan data secara lengkap, dan telah diberikan persetujuan oleh Kepala Kantor Wilayah atau KPU.
(3) Fasilitas KITE Pembebasan yang dibekukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf c dan huruf d, dapat diberlakukan kembali setelah waktu pembekuan berakhir.
(4) Fasilitas KITE Pembebasan yang dibekukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf e dapat diberlakukan kembali, dalam hal Perusahaan KITE Pembebasan telah melakukan pelunasan atas kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (8) atau mengajukan keberatan yang dibuktikan dengan tanda terima.
(5) Fasilitas KITE Pembebasan yang dibekukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf f dapat diberlakukan kembali, dalam hal Perusahaan KITE Pembebasan telah dilakukan monitoring dan/atau evaluasi atau menyerahkan surat pernyataan bersedia dilakukan monitoring dan/atau evaluasi.
(6) Fasilitas KITE Pembebasan yang dibekukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf g dapat diberlakukan kembali, dalam hal Perusahaan KITE Pembebasan telah menyerahkan dokumen dan/atau data yang diperlukan dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (4).
(7) Fasilitas KITE Pembebasan yang dibekukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf h dapat diberlakukan kembali, dalam hal Perusahaan KITE Pembebasan telah memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
(8) Fasilitas KITE Pembebasan yang dibekukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf i dapat diberlakukan kembali, dalam hal Perusahaan KITE Pembebasan telah melakukan penatausahaan barang asal fasilitas KITE Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2).
(9) Fasilitas KITE Pembebasan yang dibekukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf j dapat diberlakukan kembali, dalam hal Perusahaan KITE Pembebasan telah menyerahkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3).
(10) Fasilitas KITE Pembebasan yang dibekukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf k dapat diberlakukan kembali, dalam hal Perusahaan KITE Pembebasan telah mendayagunakan sistem informasi persediaan berbasis komputer (IT Inventory) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a.
(11) Fasilitas KITE Pembebasan yang dibekukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf 1 dapat diberlakukan kembali, dalam hal Perusahaan KITE Pembebasan telah mendayagunakan closed circuit television (CCTV) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b.
(12) Fasilitas KITE Pembebasan yang dibekukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf m dapat diberlakukan kembali, dalam hal Perusahaan KITE Pembebasan tidak terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan rekomendasi penyidik atau putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.

 


Bagian Kedua
Pencabutan

Pasal 36


(1) Fasilitas KITE Pembebasan dicabut dalam hal Perusahaan KITE Pembebasan:
a. tidak melakukan impor atau pemasukan dengan menggunakan fasilitas KITE Pembebasan:
1. dalam waktu 1 (satu) tahun sejak dibekukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 ayat (1), dalam hal tidak terdapat saldo Barang dan Bahan yang masih dalam periode KITE Pembebasan atau perpanjangan periode KITE Pembebasan; atau
2. dalam waktu 2 (dua) tahun sejak dibekukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 ayat (1), dalam hal terdapat perpanjangan periode KITE Pembebasan yang berakhir melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun sejak dibekukan.
b. tidak mengajukan permohonan dan/atau pemberitahuan perubahan data kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal fasilitas KITE Pembebasan dibekukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b;
c. diterbitkan surat paksa karena ada tagihan yang tidak dilunasi;
d. terbukti telah melakukan tindak pidana di bidang kepabeanan dan/atau perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap;
e. berubah status menjadi pengusaha Kawasan Berikat atau pengusaha di Kawasan Berikat, setelah laporan pertanggungjawaban atas penyelesaian Barang dan Bahan mendapatkan putusan;
f. dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap;
g. tidak lagi memenuhi kriteria untuk memperoleh fasilitas KITE Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3;
h. direkomendasikan untuk dicabut berdasarkan hasil monitoring, evaluasi, dan/atau audit karena tidak memenuhi ketentuan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan; dan/atau
i. mengajukan permohonan untuk dilakukan pencabutan fasilitas KITE Pembebasan.
(2) Dalam hal fasilitas KITE Pembebasan dicabut dengan alasan selain karena berubah status menjadi pengusaha Kawasan Berikat atau pengusaha di Kawasan Berikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pencabutan, Perusahaan KITE Pembebasan wajib:
a. melaporkan Barang dan Bahan yang telah dilakukan penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 namun belum disampaikan laporan pertanggung jawabannya;
b. melunasi seluruh tagihan terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan perpajakan; dan
c. menyelesaikan saldo Barang dan Bahan yang belum dilakukan penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
(3) Saldo Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diselesaikan dengan cara:
a. dilunasi Bea Masuk serta PPN atau PPN dan PPnBM atas Barang dan Bahan yang pada saat impor atau pemasukan mendapatkan fasilitas KITE Pembebasan; dan/atau
b. dilakukan ekspor dan/atau dikembalikan.
(4) Dalam hal Perusahaan KITE Pembebasan tidak melakukan penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pencabutan, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU melakukan penagihan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal Barang dan Bahan masih dalam periode KITE pembebasan, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU melakukan penagihan:
1. Bea Masuk dan PPN atau PPN dan PPnBM; dan
2. Bea Masuk Tambahan dalam hal Barang dan Bahan dikenakan Bea Masuk Tambahan, 
atas Barang dan Bahan yang pada saat impor atau pemasukan mendapatkan fasilitas KITE Pembebasan.
b. dalam hal telah melewati periode KITE pembebasan, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU melakukan penagihan:
1. Bea Masuk atas Barang dan Bahan yang pada saat impor atau pemasukan mendapatkan fasilitas KITE Pembebasan;
2. 2. Bea Masuk Tambahan dalam hal Barang dan Bahan yang diimpor atau dimasukkan dikenakan Bea Masuk Tambahan;
3. PPN atau PPN dan PPnBM atas Barang dan Bahan yang pada saat impor atau pemasukan mendapatkan fasilitas KITE Pembebasan;
4. sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengenaan sanksi administrasi berupa denda di bidang kepabeanan; dan
5. sanksi administrasi atas PPN atau PPN dan PPnBM sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(5) Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung besarnya PPN atau PPN dan PPnBM yang wajib dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) sebesar nilai impor atau pemasukan.
(6) Saat terutangnya PPN atau PPN dan PPnBM yang wajib dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) yaitu pada saat impor atau pemasukan.
(7) Dalam hal pelunasan PPN atau PPN dan PPnBM dilakukan setelah saat terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) Perusahaan KITE dikenakan sanksi keterlambatan penyetoran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(8) Dalam hal Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan Barang dan Bahan yang terkena ketentuan pembatasan, dilakukan penyegelan.
(9) Perusahaan KITE Pembebasan wajib melakukan penyelesaian Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dengan cara:
a. dilakukan ekspor dan/atau dikembalikan;
b. diserahkan ke Kawasan Berikat untuk diolah lebih lanjut; dan/atau
c. dilakukan pemenuhan ketentuan pembatasan dan dilunasi Bea Masuk dan PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang,
dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (8).
(10) Dalam hal Perusahaan KITE Pembebasan tidak melakukan penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (9), Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dimusnahkan.
(11) Dalam proses pencabutan fasilitas KITE Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan KITE Pembebasan dapat:
a. terlebih dahulu dilakukan monitoring dan/atau evaluasi oleh Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU; atau
b. dilakukan audit kepabeanan.


Pasal 37


(1) Dalam hal Perusahaan KITE Pembebasan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan:
a. segera mendata dan menerbitkan tagihan Bea Masuk serta PPN atau PPN dan PPnBM atas Barang dan Bahan yang belum dilakukan penyelesaian;
b. segera melakukan pencairan jaminan atas tagihan sebagaimana dimaksud pada huruf a kepada penjamin; dan
c. segera mengajukan tagihan sebagaimana dimaksud pada huruf a kepada kurator yang ditunjuk oleh pengadilan sebelum batas akhir pengajuan tagihan yang ditetapkan oleh Hakim Pengawasan.
(2) Penagihan atas kewajiban pungutan negara yang terutang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan mengenai kepailitan.


BAB XI
PERUBAHAN STATUS
MENJADI PENGUSAHA KAWASAN BERIKAT ATAU
PENGUSAHA DI KAWASAN BERIKAT

Pasal 38


(1) Dalam hal Perusahaan KITE Pembebasan akan berubah status menjadi Pengusaha Kawasan Berikat atau Pengusaha di Kawasan Berikat, Perusahaan KITE Pembebasan mengajukan permohonan izin Kawasan Berikat kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU.
(2) Dalam hal permohonan izin Kawasan Berikat disetujui, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan membekukan fasilitas KITE Pembebasan.
(3) Perusahaan KITE Pembebasan dapat mengajukan permohonan penetapan Barang dan Bahan yang masih dalam periode KITE Pembebasan namun belum diselesaikan menjadi saldo awal persediaan Kawasan Berikat kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan.
(4) Barang dan Bahan yang belum diselesaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa:
a. Barang dan Bahan yang telah dilakukan kegiatan olah, rakit, dan/atau pasang; dan
b. Barang dan Bahan yang belum dilakukan kegiatan olah, rakit, dan/atau pasang.
(5) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disampaikan sebelum kegiatan operasional Kawasan Berikat dimulai.
(6) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan secara elektronik melalui SKP atau secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU.
(7) Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU menindaklanjuti permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal surat permohonan diterima dengan melakukan pencacahan terhadap Barang dan Bahan yang belum diselesaikan.
(8) Pencacahan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan dengan berkoordinasi dengan Kepala Kantor Pabean yang mengawasi Kawasan Berikat.
(9) Hasil pencacahan dituangkan dalam berita acara pencacahan, dengan menyebutkan pemberitahuan pabean impor dan/atau pemberitahuan pabean untuk pemasukan asal Barang dan Bahan.
(10) Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU menerbitkan keputusan mengenai penetapan Barang dan Bahan yang menjadi saldo awal persediaan Kawasan Berikat, berdasarkan berita acara pencacahan, paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah tanggal pencacahan.
(11) Atas Barang dan Bahan yang telah ditetapkan sebagai saldo awal persediaan Kawasan Berikat, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. diperlakukan sebagai barang impor dengan mendapat penangguhan Bea Masuk;
b. tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM; dan
c. dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Kawasan Berikat.
(12) Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU mengembalikan jaminan atas Barang dan Bahan yang telah ditetapkan sebagai saldo awal persediaan Kawasan Berikat.
(13) Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU melakukan penyesuaian saldo Barang dan Bahan yang harus dipertanggungjawabkan pada SKP berdasarkan penetapan saldo awal persediaan Kawasan Berikat.
(14) Atas Barang dan Bahan yang telah dilakukan penyelesaian tetapi belum disampaikan laporan pertanggungjawabannya dan masih dalam periode KITE Pembebasan, Perusahaan KITE Pembebasan wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban.
(15) Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU atas nama Menteri melakukan pencabutan terhadap Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan, dalam hal laporan pertanggungjawaban atas Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (14) telah mendapatkan putusan.
(16) Realisasi ekspor yang telah dilakukan oleh Perusahaan KITE Pembebasan dapat diperhitungkan dalam penentuan batas penjualan Hasil Produksi dari Kawasan Berikat ke tempat lain dalam daerah pabean.
(17) Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU melakukan penagihan Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, dan PPN atau PPN dan PPnBM serta sanksi administrasi berupa denda dan sanksi administrasi atas Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dalam hal berdasarkan hasil pencacahan ditemukan Barang dan Bahan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan/atau telah melewati periode KITE Pembebasan.


BAB XII
IMPOR KEMBALI HASIL PRODUKSI

Pasal 39

(1) Hasil Produksi yang telah diekspor dapat diimpor kembali karena alasan tertentu dengan persetujuan Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan.
(2) Impor kembali atas Hasil Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pemasukan kembali ke dalam daerah pabean atas Hasil Produksi yang sebelumnya diekspor yang tidak mengalami proses pengerjaan atau penyempurnaan apapun.
(3) Alasan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain:
a. diimpor kembali untuk diperbaiki (rework);
b. ditolak oleh pembeli di luar negeri; atau
c. terjadi kondisi kahar (force majeure) di negara tujuan ekspor.
(4) Hasil Produksi yang diekspor dapat diajukan untuk diimpor kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean ekspor.
(5) Hasil Produksi yang diimpor kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diekspor kembali dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean impor kembali dan dapat diperpanjang paling lama 3 (tiga) bulan dengan persetujuan Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan.


 

Pasal 40


(1) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), Perusahaan KITE Pembebasan mengajukan permohonan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan:
a. alasan dilakukannya impor kembali Hasil Produksi disertai bukti pendukung;
b. rincian jumlah dan jenis barang serta nilai pabean Hasil Produksi yang diimpor kembali;
c. rincian jumlah dan jenis barang serta nilai pabean Barang dan Bahan yang diolah menjadi Hasil Produksi yang diimpor kembali;
d. pemberitahuan pabean ekspor atas Hasil Produksi yang diimpor kembali; dan
e. pemberitahuan pabean impor atas Barang dan Bahan yang diolah menjadi Hasil Produksi yang diimpor kembali.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara elektronik melalui SKP atau secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU.
(4) Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama:
a. 5 (lima) jam kerja setelah permohonan diterima secara lengkap, dalam hal permohonan disampaikan secara elektronik; atau
b. 3 (tiga) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap, dalam hal permohonan disampaikan secara tertulis.
(5) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU atas nama Menteri menerbitkan:
a. Keputusan Menteri mengenai pembebasan Bea Masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor, dalam hal laporan pertanggungjawaban atas Barang dan Bahan belum disetujui; atau
b. surat persetujuan impor kembali, dalam hal laporan pertanggungjawaban atas Barang dan Bahan telah disetujui.
(6) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU menerbitkan surat pemberitahuan penolakan dengan menyebutkan alasan penolakan.
(7) Dalam hal telah diterbitkan Keputusan Menteri mengenai pembebasan Bea Masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. waktu penyampaian laporan pertanggungjawaban atas Barang dan Bahan diperpanjang paling lama sampai dengan berakhirnya batas waktu ekspor kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat  (5) ditambah 60 (enam puluh) hari; dan
b. Perusahaan KITE Pembebasan wajib melakukan perpanjangan waktu jaminan.
(8) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf K yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam Peraturan Menteri ini.


Pasal 41


(1) Terhadap Hasil Produksi yang akan dilakukan impor kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), yang laporan pertanggungjawabannya telah disetujui, pada saat impor kembali Hasil Produksi berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Perusahaan KITE Pembebasan wajib:
1. menyerahkan jaminan sebesar Bea Masuk serta pajak dalam rangka impor berdasarkan tarif dan nilai barang atas barang yang diimpor kembali; dan
2. melampirkan surat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5) huruf b;
b. dilakukan pemeriksaan pabean; dan
c. impor kembali dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengeluaran barang impor untuk dipakai.
(2) Terhadap Hasil Produksi yang akan dilakukan impor kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), yang laporan pertanggungjawabannya belum disetujui, pada saat impor kembali Hasil Produksi berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. diberikan pembebasan Bea Masuk serta tidak dipungut pajak dalam rangka impor;
b. Perusahaan KITE Pembebasan wajib melampirkan Keputusan Menteri mengenai pembebasan Bea Masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5) huruf a;
c. dilakukan pemeriksaan pabean meliputi penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik; dan
d. impor kembali dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengeluaran barang impor untuk dipakai.


Pasal 42


(1) Ekspor kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (5) atas Hasil Produksi yang diimpor kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai ekspor.
(2) Perusahaan KITE Pembebasan wajib menyampaikan pemberitahuan pabean ekspor dengan jenis reekspor dalam rangka fasilitas KITE Pembebasan.


Pasal 43


(1) Perusahaan KITE Pembebasan wajib menyampaikan laporan realisasi atas ekspor kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (5) disertai dengan dokumen pendukung kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan, paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal berakhirnya batas waktu ekspor kembali.
(2) Atas laporan realisasi ekspor yang disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU melakukan penelitian dan memberikan persetujuan atau penolakan paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak laporan realisasi ekspor diterima secara lengkap.
(3) Laporan realisasi ekspor disetujui apabila dapat dibuktikan bahwa barang yang diekspor kembali merupakan Hasil Produksi yang diimpor kembali.
(4) Dalam hal laporan realisasi ekspor disetujui, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. jaminan dikembalikan, dalam hal barang yang diekspor kembali merupakan Hasil Produksi yang diimpor kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1); atau
b. persetujuan tersebut menjadi dasar dalam penelitian laporan pertanggungjawaban, dalam hal barang yang diekspor kembali merupakan Hasil Produksi yang diimpor kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2).
(5) Dalam hal laporan realisasi ekspor ditolak, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Perusahaan KITE Pembebasan wajib melunasi Bea Masuk dan pajak dalam rangka impor yang terutang, dalam hal barang yang diekspor kembali merupakan Hasil Produksi yang diimpor kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1); atau
b. penolakan tersebut menjadi dasar dalam penelitian laporan pertanggungjawaban, dalam hal barang yang diekspor kembali merupakan Hasil Produksi yang diimpor kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2).
(6) Dalam hal Perusahaan KITE Pembebasan tidak melakukan ekspor kembali sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (5) atau tidak menyampaikan laporan realisasi ekspor sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. apabila Hasil Produksi yang diimpor kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) laporan pertanggungjawabannya telah disetujui, Perusahaan KITE Pembebasan wajib melunasi Bea Masuk dan pajak dalam rangka impor yang terutang; atau
b. apabila Hasil Produksi yang diimpor kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) laporan pertanggungjawabannya belum disetujui, laporan pertanggungjawaban ditolak.
(7) Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU menerbitkan surat penetapan pabean sebagai dasar penagihan atas kewajiban pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dan ayat (6) huruf a sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(8) Pajak dalam rangka impor berupa PPN atau PPN dan PPnBM yang dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dan ayat (6) huruf a, tidak dapat dikreditkan.
(9) Laporan realisasi ekspor kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf L yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam Peraturan Menteri ini.

 

Pasal 44


(1) Perusahaan KITE Pembebasan wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban setelah ekspor kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (5) atas Hasil Produksi yang diimpor kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) yang belum disampaikan laporan pertanggungjawaban.
(2) Laporan pertanggungjawaban disampaikan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dengan melampirkan dokumen pendukung tambahan berupa:
a. pemberitahuan pabean impor kembali Hasil Produksi;
b. pemberitahuan pabean ekspor kembali Hasil Produksi; dan
c. surat persetujuan atau penolakan atas laporan realisasi ekspor kembali Hasil Produksi.


BAB XIII

KETENTUAN LAIN-LAIN

 

Pasal 45


(1) Impor Barang dan Bahan berupa barang kena cukai, dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai cukai.
(2) Ekspor Hasil Produksi yang dikenakan bea keluar, dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemungutan bea keluar.
(3) Terhadap penjualan ke tempat lain dalam daerah pabean berupa sisa proses produksi (scrap/waste) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dilakukan pemeriksaan pabean secara selektif berdasarkan manajemen risiko.
(4) Tata cara penetapan atas kewajiban pembayaran Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, PPN atau PPN dan PPnBM, serta sanksi administrasi berupa denda dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penetapan Pejabat Bea dan Cukai atas kewajiban pembayaran Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, pajak dalam rangka impor, serta sanksi administrasi berupa denda.


Pasal 46

Sistem informasi persediaan berbasis komputer (IT Inventory) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d dapat diakses oleh Direktorat Jenderal Pajak dengan terlebih dahulu berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.


Pasal 47

(1) Perusahaan KITE Pembebasan dapat mengajukan permohonan penyelesaian atas kewajiban pembayaran Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, dan PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang, serta sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan perpajakan atas Barang dan Bahan dalam hal:
a. terjadi kondisi tertentu yang mengakibatkan Perusahaan KITE Pembebasan tidak dapat menyampaikan laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27; dan/atau
b. terdapat saldo Barang dan Bahan dari Barang dan Bahan yang telah disampaikan laporan pertanggungjawabannya.
(2) Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.
(3) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU melakukan penetapan sebagai dasar penagihan atas kewajiban pembayaran Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, serta PPN atau PPN dan PPnBM atas Barang dan Bahan yang pada saat impor atau pemasukan mendapat fasilitas KITE Pembebasan, serta sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan perpajakan atas Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung besarnya PPN atau PPN dan PPnBM yang wajib dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebesar nilai impor atau pemasukan.
(5) Saat terutangnya PPN atau PPN dan PPnBM yang wajib dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yaitu pada saat impor atau pemasukan barang.
(6) Dalam hal pelunasan PPN atau PPN dan PPnBM dilakukan setelah saat terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) Perusahaan KITE Pembebasan dikenakan sanksi keterlambatan penyetoran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(7) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada pada ayat (1) ditolak, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU menyampaikan surat pemberitahuan dengan menyebutkan alasan penolakan.


Pasal 48


Perusahaan KITE Pembebasan dapat memanfaatkan fasilitas Kawasan Berikat, sepanjang lokasi pabrik yang ditetapkan sebagai Kawasan Berikat berbeda dengan lokasi pabrik yang memperoleh fasilitas KITE Pembebasan.


Pasal 49


(1) Kegiatan pelayanan fasilitas KITE Pembebasan dilakukan menggunakan SKP.
(2) Dalam hal SKP mengalami gangguan operasional atau tidak berfungsi berdasarkan penetapan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, pelayanan fasilitas KITE Pembebasan dilaksanakan secara manual.


Pasal 50


Pemasukan Barang dan Bahan dari Kawasan Bebas, KEK, dan kawasan ekonomi lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf d, huruf e, dan huruf f, dapat dilaksanakan setelah SKP terkait kegiatan tersebut telah terhubung dengan SKP fasilitas KITE Pembebasan.


Pasal 51


(1) Pelayanan pemberian fasilitas KITE Pembebasan dilakukan oleh Kantor Wilayah atau KPU yang mengawasi lokasi pabrik atau lokasi kegiatan usaha Perusahaan KITE Pembebasan.
(2) Direktur Jenderal dapat menentukan Kantor Wilayah atau KPU lain untuk melakukan pelayanan pemberian fasilitas KITE Pembebasan.

  

Pasal 52


Ketentuan mengenai petunjuk teknis pelaksanaan KITE Pembebasan ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

 

BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
 
Pasal 53

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
1. terhadap Perusahaan KITE Pembebasan yang telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.04/2018 tentang Pembebasan Bea Masuk dan Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Impor Barang dan Bahan untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang pada Barang Lain dengan Tujuan untuk Diekspor, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. tetap diberikan fasilitas KITE Pembebasan berdasarkan Peraturan Menteri ini;
b. sistem informasi persediaan berbasis komputer (IT Inventory) yang dimiliki harus sudah dapat diakses oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai secara daring (online) paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan;
c. dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf b belum terpenuhi, Perusahaan KITE Pembebasan dibekukan sampai dengan sistem informasi persediaan berbasis komputer (IT Inventory) yang dimiliki dapat diakses oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai secara daring (online); dan
d. wajib memiliki closed circuit television (CCTV) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e dan mendayagunakan closed circuit television (CCTV) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, dalam waktu paling lambat 6 (enam) bulan sejak Peraturan Menteri ini mulai berlaku;
2. terhadap Perusahaan KITE Pembebasan yang masih memiliki kewajiban melunasi nilai Bea Masuk dan PPN atau PPN dan PPnBM kurang dari atau sama dengan Rp 100.000,00 (seratus ribu Rupiah) atas hasil penelitian konversi pada laporan pertanggungjawaban berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.04/2018 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang dan Bahan untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang pada Barang Lain dengan Tujuan untuk Diekspor, terhadap kewajiban tersebut diselesaikan dengan cara:
1. diajukan permohonan penyelesaian atas kewajiban oleh Perusahaan KITE Pembebasan; atau
2. diakumulasi dan dilakukan penetapan tagihan pada akhir periode tahun berjalan oleh Kantor Wilayah atau KPU yang menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan Perusahaan KITE Pembebasan,
berdasarkan Peraturan Menteri ini;
3. jangka waktu pelaksanaan pertanggungjawaban Barang dan Bahan meliputi penyampaian, pembekuan, pemeriksaan, dan penetapan keputusan atas pertanggungjawaban Perusahaan KITE Pembebasan pada:
a. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Banten dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai di luar Pulau Jawa;
b. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jakarta;
c. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Barat dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Tengah dan DIY; dan
d. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur II,
sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.04/2018 tentang Pembebasan Bea Masuk dan Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Impor Barang dan Bahan untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang pada Barang Lain dengan Tujuan untuk Diekspor sampai dengan tanggal sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf M yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
4. dalam hal sistem aplikasi perizinan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam kerangka online single Submission belum tersedia, kegiatan pengajuan permohonan fasilitas KITE Pembebasan dilakukan menggunakan sistem Indonesia National Single Window; dan
5. terhadap barang contoh yang diimpor berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.04/2018 tentang Pembebasan Bea Masuk dan Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Impor Barang dan Bahan untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang pada Barang Lain dengan Tujuan untuk Diekspor, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. disimpan selama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean impor atau pemberitahuan pabean pemasukan; dan
b. dalam hal barang contoh terbukti tidak digunakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a, perusahaan KITE Pembebasan wajib melunasi:
1. Bea Masuk dan PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang;
2. sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengenaan sanksi administrasi berupa denda di bidang kepabeanan; dan
3. sanksi administrasi atas PPN atau PPN dan PPnBM sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


BAB XV
KETENTUAN PENUTUP

 

Pasal 54


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.04/2018 tentang Pembebasan Bea Masuk dan Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Impor Barang dan Bahan untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang pada Barang Lain dengan Tujuan untuk Diekspor (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1669); dan
b. ketentuan Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.04/2018 tentang Percepatan Perizinan Kepabeanan dan Cukai Dalam Rangka Kemudahan Berusaha (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 415),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 55


Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 November 2022.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.




  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Oktober 2022
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Oktober 2022
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY



BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2022 NOMOR 1089