UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2006
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Pasal I
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini
yang dimaksud dengan :
1. | Kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar. |
2. | Daerah pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang ini. |
3. | Kawasan pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. |
4. | Kantor pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. |
5. | Pos pengawasan pabean adalah tempat yang digunakan oleh pejabat bea dan cukai untuk melakukan pengawasan terhadap lalu lintas barang impor dan ekspor. |
6. | Kewajiban pabean adalah semua kegiatan di bidang kepabeanan yang wajib dilakukan untuk memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang ini. |
7. | Pemberitahuan pabean adalah pernyataan yang dibuat oleh orang dalam rangka melaksanakan kewajiban pabean dalam bentuk dan syarat yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. |
8. | Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. |
9. | Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai. |
10 | Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah unsur pelaksana tugas pokok dan fungsi Departemen Keuangan di bidang kepabeanan dan cukai. |
11. | Pejabat bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang ini. |
12. | Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum. |
13. | Impor adalah kegiatan memasukan barang ke dalam daerah pabean. |
14. | Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean. |
15. | Bea Masuk adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini yang dikenakan terhadap barang yang di impor. |
15a. | Bea keluar adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini yang dikenakan terhadap barang ekspor. |
16 | Tempat penimbunan sementara adalah bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan itu di kawasan pabean untuk menimbun barang, sementara menunggu pemuatan atau pengeluarannya. |
17. | Tempat penimbunan berikat adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk. |
18. | Tempat penimbunan pabean adalah bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan itu, yang disediakan oleh pemerintah di kantor pabean, yang berada di bawah pengelolaan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk menyimpan barang yang dinyatakan tidak dikuasai, barang yang dikuasai negara, dan barang yang menjadi milik negara berdasarkan Undang-Undang ini. |
19. | Barang tertentu adalah barang yang ditetapkan oleh instansi teknis terkait sebagai barang yang pengangkutannya di dalam daerah pabean diawasi. |
20. | Audit Kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. |
21 | Tarif
adalah klasifikasi barang dan pembebanan bea masuk atau bea keluar. |
Pasal 2
(1) | Barang
yang dimasukkan ke dalam daerah pabean diperlakukan sebagai barang
impor dan terutang bea masuk. |
(2) | Barang yang dimuat di sarana pengangkut untuk dikeluarkan dari daerah pabean dianggap telah diekspor dan diperlakukan sebagai barang ekspor. |
(3) | Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan barang ekspor dalam hal dapat dibuktikan bahwa barang tersebut ditujukan untuk dibongkar di suatu tempat dalam daerah pabean. |
Pasal 2A
(1) | Terhadap barang ekspor dapat dikenakan bea keluar. |
(2) |
Bea Keluar dikenakan terhadap barang ekspor dengan tujuan untuk : a. menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri; b. melindungi kelestarian sember daya alam; c. mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dan komoditi ekspor tertentu di pasaran internasional; atau d. menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri; |
(3) | Ketentuan
mengenai pengenaan bea keluar
terhadap barang ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan peraturan pemerintah. |
Pasal 3
(1) | Terhadap barang impor dilakukan pemeriksaan pabean. |
(2) | Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik barang. |
(3) | Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara selektif. |
(4) | Ketentuan
mengenai tata cara
pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. |
Pasal 4A
(1) | Terhadap barang tertentu dilakukan pengawasan pengangkutannya dalam daerah panean. |
(2) | Instansi teknis terkait, melalui menteri yang membidangi perdagangan, memberitahukan jenis barang yang ditetapkan sebagai barang tertentu kepada Menteri. |
(3) | Ketentuan
mengenai pengawasan
pengangkutan barang tertentu mengenai pengangkutan barang tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan peraturan pemerintah. |
Pasal 5
(1) | Pemenuhan kewajiban pabean dilakukan di kantor pabean atau tempat lain yang disamakan dengan kantor pabean dengan menggunakan pemberitahuan pabean. |
(2) | Pemberitahuan pabean disampaikan kepada pejabat bea dan cukai di kantor pabean atau tempat lain yang disamakan dengan kantor pabean. |
(3) | untuk pelaksanaan dan pengawasan pemenuhan kewajiban pabean, ditetapkan kawasan pabean, dan pos pengawasan pabean. |
(4) | Penetapan
kawasan pebean, kantor kantor pabean, dan pos pengawasan pebean
dilakukan oleh Menteri. |
Pasal 5A
(1) | Pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dapat disampaikan dalam bentuk tulisan di atas formulir atau dalam bentuk data elektronik. |
(2) | Penetapan kantor pabean tempat penyampaian pemberitahuan pabean dalam bentuk data elektronik dilakukan oleh Menteri. |
(3) | Data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat bukti yang sah menurut Undang-Undang ini. |
(4) | Ketentuan
mengenai tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. |
Pasal 6
(1) | Terhadap barang yang diimpor atau diekspor berlaku segala ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. |
(2) | Dalam hal pengawasan pengangkutan barang tertentu tidak diatur oleh instansi teknis terkait, pengaturannya didasarkan pada ketentuan Undang-Undang ini. |
Pasal 6A
(1) | Orang yang akan melakukan pemenuhan kewajiban pabean wajib melakukan registrasi ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk mendapat nomor identitas dalam rangka akses kepabeanan. |
(2) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) orang yang melakukan pemenuhan kewajiban pabean tertentu |
(3) | Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan peraturan menteri. |
BAB II
PENGANGKUTAN BARANG, IMPOR,
DAN EKSPOR
Bagian Pertama
Pengangkutan Barang
Paragraf 1
Kedatangan Sarana Pengangkut
Pasal 7 dihapus.
Di antara Pasal 7 dan BAB II Bagian Pertama Paragraf 2 disisipkan 1 (satu) pasal 7A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7A
(1) | Pengangkut
yang sarana pengangkutnya akan datang dari:
|
||||||
(2) | Pengangkut yang sarana pengangkutnya memasuki daerah pabean wajib mencantumkan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dalam manifesnya. | ||||||
(3) | Pengangkut yang sarana pengangkutannya datang dari luar daerah pabean atau datang dari dalam daerah pabean dengan mengangkut barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyerahkan pemberitahuan pabean mengenai barang yang diangkutnya sebelum melakukan pembongkaran. | ||||||
(4) |
Dalam hal tidak segera dilakukan pembongkaran, kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan:
|
||||||
(5) | Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dikecualikan bagi pengangkut yang berlabuh paling lama 24 (dua puluh empat) jam dan tidak melakukan pembongkaran barang. | ||||||
(6) | Dalam
hal sarana pengangkut dalam keadaan darurat, pengangkut dapat
membongkar barang impor terlebih dahulu wajib:
|
||||||
(7) | Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). | ||||||
(8) | Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), atau ayat (6) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). | ||||||
(9) | Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan peraturan menteri. |
Paragraf 2
Pengangkutan Barang
Pasal 8 dihapus.
Di antara Pasal 8 BAB II Bagian Pertama Paragraf 3 disisipkan 3 (tiga) pasal yaitu Pasal 8A, Pasal 8B, dan Pasal 8C yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8A
(1) | Pengangkutan barang impor dari tempat penimbunan sementara atau tempat penimbunan berikat dengan tujuan tempat penimbunan sementara atau tempat penimbunan berikat lainnya wajib diberitahukan ke kantor pabean. |
(2) | Pengusaha atau importir yang telah memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi jumlah barang impor yang dibongkar kurang dari yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, wajib membayar bea masuk atas barang impor yang kurang dibongkar dan dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). |
(3) | Pengusaha atau importir yang telah memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi jumlah barang impor yang dibongkar lebih dari yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi dil luarkemampuannya, dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). |
(4) | Ketentuan
mengenai persyaratan dan tata
cara pengangkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. |
Pasal 8B
(1) | Pengangkutan tenaga listrik, barang cair, atau gas untuk impor atau ekspor dapat dilakukan melalui transmisi atau saluran pipa yang jumlah dan jenis barangnya didasarkan pada hasil pengukuran di tempat pengukuran terakhir dalam daerah pabean. |
(2) | Pengiriman peranti lunak dan/atau data elektronik untuk impor atau ekspor dapat dilakukan melalui transmisi eletronik. |
(3) | Ketentuan
mengenai persyaratan dan tata
cara pengangkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
pengiriman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan peraturan menteri. |
Pasal 8C
(1) | Barang tertentu wajib diberitahukan oleh pengangkut baik pada waktu keberangkatan maupun kedatangan di kantor pabean yang ditetapkan. |
(2) | Barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilindungi dokumen yang sah dalam pengangkutannya. |
(3) | Pengangkut yang telah memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi jumlahnya kurang atau lebih dari yang diberitahukan dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, dikenai sanksi administrasi berupa dendapaling sedikit Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). |
(4) | Pengangkut yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). |
(5) | Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan peraturan menteri. |
Paragraf 3
Keberangakatan Sarana Pengangkut
Pasal 9 dihapus.
Di antara Pasal 9 dan BAB II Bagian Kedua disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 9A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9A
(1) | Pengangkut
yang sarana pengangkutnya akan berangkat menuju :
|
||||
(2) | Pengangkut yang sarana pengangkutnya menuju ke luar daerah pabean wajib mencantumkan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam manifesnya. | ||||
(3) | Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). | ||||
(4) | Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan peraturan menteri. |
Bagian Kedua
Impor
Pasal 10 dihapus.
BAB II Bagian Kedua ditambah 3 (tiga) paragraf, yaitu Paragraf 1, Paragraf 2, dan Paragraf 3 yang berbunyi sebagai berikut :
Paragraf 1
Pembongkaran, Penimbunan,
dan Pengeluaran
Pasal 10A
(1) | Barang impor yang diangkut sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (1) wajib dibongkar di kawasan pabean atau dapat dibongkar di tempat lain setelah mendapat izin kepala kantor pabean. |
(2) | Barang impor yang diangkut sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (1) dapat dibongkar ke sarana pengangkut lainnya di laut dan barang tersebut wajib dibawa ke kantor pabean melalui jalur yang ditetapkan. |
(3) | Pengangkut yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana pada ayat (1), tetapi jumlah barang impor yang dibongkar kurang dari yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, wajib membayar bea masuk atas barang impor yang kurang dibongkar dan dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). |
(4) | Pengangkut yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi jumlah barang impor yang dibongkar lebih banyak dari yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). |
(5) | Barang impor, sementara menunggu pengeluarannya dari kawasan pabean, dapat ditimbun di tempat penimbunan sementara. |
(6) | Dalam hal tertentu, barang impor dapat ditimbun di tempat lain yang diperlukan sama dengan tempat penimbunan sementara. |
(7) | Barang
impor dapat dikeluarkan dari kawasan pabean atau tempat lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) setelah dipenuhinya kewajiban pabean
untuk: a. diimpor untuk dipakai; b. diimpor sementara; c. ditimbun di tempat penimbunan berikat; d. diangkut ke tempat penimbunan sementara di kawasan pabean lainnya; e. diangkut terus atau diangkut lanjut;atau f. diekspor kembali. |
(8) | Orang yang mengeluarkan barang impor dari kawasan pabean atau tempat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (6), setelah memenuhi semua ketentuan tetapi belum mendapat persetujuan pengeluaran dari pejabat bea dan cukai, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). |
(9) | Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (5), ayat (6), ayat (7) diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan peraturan menteri. |
Paragraf 2
Impor Untuk Dipakai
Pasal 10B
(1) | Impor
untuk dipakai adalah : a. memasukkan barang ke dalam daerah pabean dengan tujuan untuk dipakai; atau b. memasukkan barang ke dalam daerah pabean untuk dimiliki atau dikuasai oleh orang yang berdomisili di Indonesia. |
(2) | Barang
impor dapat dikeluarkan sebagai barang impor untuk dipakai setelah : a. diserahkan pemberitahuan pabean dan dilunasi bea masuknya; b. diserahkan pemberitahuan pabean dan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42; atau c. diserahkan dokumen pelengkap pabean dan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42. |
(3) | Barang impor yang dibawa oleh penumpang, awak sarana pengangkut, atau pelintas batas ke dalam daerah pabean pada saat kedatangannnya wajib diberitahukan kepada pejabat bea dan cukai. |
(4) | Barang impor yang dikirim melalui pos atau jasa titipan hanya dapat dikeluarkan atas persetujuan pejabat bea dan cukai. |
(5) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. |
(6) | Orang
yang tidak melunasi bea masuk
atas barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b atau huruf
c dalam jangka waktu yang ditetapkan menurut Undang-Undang ini wajib
membayar bea masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa
denda sebesar 10 % (sepuluh persen) dari bea masuk yang wajib dilunasi. |
Pasal 100
(1) | Importir dapat mengajukan permohonan perubahan atas kesalahan data pemberitahuan pabean yang telah diserahkan sepanjang kesalahan tersebut terjadi karena kekhilafan yang nyata. |
(2) | Permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak apabila : a. barang telah dikeluarkan dari kawasan pabean; b. kesalahan tersebut merupakan temuan pejabat bea dan cukai; atau c. telah mendapatkan penetapan pejabat bea dan cukai. |
(3) | Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan peraturan menteri. |
Paragraf 3
Impor Sementara
Pasal 10B
(1) | Barang impor dapat dikeluarkan sebagai barang impor sementara jika pada waktu importasinya benar-benar dimaksudkan untuk diekspor kembali paling lama 3 (tiga) tahun. |
(2) | Barang impor sementara sampai saat diekspor kembali berada dalam pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. |
(3) | Barang impor sementara dapat diberikan pembebasan atau keringanan bea masuk. |
(4) | Barang impor sementara yang diberikan keringanan bea masuk, setiap bulan dikenai bea masuk paling tinggi sebesar 5 % (lima persen) dan bea masuk yang seharusnya dibayar; |
(5) | Orang yang terlambat mengekspor kembali barang impor sementara dalam jangka waktu yang diizinkan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100 % (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar. |
(6) | Orang yang tidak mengekspor kembali barang impor sementara dalam jangka waktu yang diizinkan wajib membayar bea masuk dan dikenai sanksi administrasi berupa denda 100 % (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar. |
(7) | ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan peraturan menteri. |
Bagian Ketiga
Ekspor
Pasal 11 dihapus.
Di antara Pasal 11 dan BAB III disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 11A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11A
(1) | Barang yang akan diekspor wajib diberitahukan dengan pemberitahuan pabean. |
(2) | Pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan terhadap barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman sampai dengan batas nilai pabean dan/atau jumlah tertentu. |
(3) | Pemuatan barang ekspor dilakukan di kawasan pabean atau dalam hal tertentu dapat dimuat di tempat lain dengan izin kepala kantor pabean. |
(4) | Barang yang telah diberitahukan untuk diekspor, sementara menunggu pemuatannya, dapat ditimbun ditempat penimbunan sementara atau tempat lain dengan izin kepala kantor pabean. |
(5) | Barang yang telah diberitahukan untuk diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika ekspornya dibatalkan wajib dilaporkan kepada pejabat bea dan cukai. |
(6) | Eksportir yang tidak melaporkan pembatalan ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah). |
(7) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. |
Pasal 13
(1) | Bea
masuk dapat dikenakan berdasarkan tarif yang besarnya berbeda dengan
yang dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) terhadap:
|
||||
(2) | Tata
cara pengenaan dan besarnya tarif
bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
peraturan menteri. |
Pasal 14
(1) | Untuk penetapan tarif bea masuk dan bea keluar, barang dikelompokkan berdasarkan sistem klasifikasi barang. |
(2) | Ketentuan
tentang klasifikasi barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut dengan peraturan menteri. |
Pasal 15
(1) | Nilai pabean untuk penghitungan bea masuk adalah nilai transaksi dari barang yang bersangkutan. |
(2) | Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan nilai transaksi barang dan barang identik. |
(3) | Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan nilai transaksi dari barang serupa. |
(3a) | Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan ketentuan pada ayat (4) dan ayat (5) secara berurutan, kecuali atas permintaan importir, urutan penentuan nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat digunakan mendahului ayat (4). |
(4) | Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan metode deduksi. |
(5) | Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan metode deduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan metode komputasi. |
(6) | Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), metode deduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau metode komputasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan dengan menggunakan tata cara yang wajar dan konsisten dengan prinsip dan ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) atau ayat (5) berdasarkan data yang tersedia di daerah pabean dengan pembatasan tertentu. |
(7) | Ketentuan
mengenai nilai pabean untuk penghitungan bea masuk diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan peraturan menteri. |
Pasal 16
(1) | Pejabat bea dan cukai dapat menetapkan tarif terhadap barang impor sebelum penyerahan pemberitahuan pabean atau dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemberitahuan pabean. |
(2) | Pejabat bea dan cukai dapat menetapkan nilai pabean barang impor untuk penghitungan bea masuk sebelum penyerahan pemberitahuan pabean atau dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemberitahuan pabean. |
(3) | Dalam hal penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk kecuali importir mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1), importir wajib melunasi bea masuk yang kurang dibayar sesuai dengan pabean. |
(4) | Importir yang salah memberitahukan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang kurang dibayar dan paling banyak 1000% (seribu persen) dari bea masuk yang kurang dibayar. |
(5) | Dalam hal penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) mengakibatkan kelebihan pembayaran bea masuk, pengembalian bea masuk dibayar sebesar kelebihan. |
(6) | Ketentuan mengenai penetapan sebagaimana dimaksud paa ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. |
Pasal 17
(1) | Direktur Jenderal dapat menetapkan kembali tarif dan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean. |
(2) | Dalam
hal penetapan sebagaimana dimaksud padaa ayat (1) berbeda dengan
penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Direktur Jenderal
memberitahukan secara tertulis kepada importir untuk : a. melunasi bea masuk yang kurang dibayar; atau b. mendapatkan pengembalian bea masuk yang lebih dibayar. |
(3) | Bea masuk yang kurang dibayar atau pengembalian bea masuk yang lebih dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibayar sesuai dengan penetapan kembali. |
(4) | Penetapan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila diakibatkan oleh adanya kesalahan nilai transaksi yang diberitahukan sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk, dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang kurang dibayar dan paling banyak 1000% (seribu persen) dari bea masuk yang kurang dibayar. |
Pasal 17A
Berdasarkan permohonan,
Direktur Jenderal dapat menetapkan klasifikasi barang dan nilai pabean
atas barang impor sebagai dasar penghitungan bea masuk sebelum diajukan
pemberitahuan pabean.
BAB IV
BEA MASUK ANTI DUMPING,
BEA MASUK IMBALAN,
BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN,
DAN BEA MASUK PEMBALASAN
Pasal 20 dihapus.
Pasal 23 dihapus.
BAB IV ditambahkan 3 (tiga) bagian, yaitu Bagian
Ketiga, Bagian Keempat, dan Bagian Kelima yang berbunyi sebagai berikut
:
Bagian Ketiga
Bea Masuk Tindakan Pengamanan
Pasal 23A
Bea masuk tindakan
pengamanan dapat dikenakan terhadap barang impor dalam hal terdapat
lonjakan barang impor baik secara absolut maupun relatif terhadap
barang produksi dalam negeri yang sejenis atau barang yang secara
langsung bersaing, dan lonjakan barang impor tersebut :
Pasal 23B
(1) | Bea masuk tindakan pengamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23A paling tinggi sebesar jumlah yang dibutuhkan untuk mengatasi kerugian serius atau mencegah ancaman kerugian serius terhaap industri dalam negeri. |
(2) | Bea masuk tindakan pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tambahan dari bea masuk yang dipungut berdasarkan Pasal 12 ayat (1). |
Bagian Keempat
Bea Masuk Pembalasan
Pasal 23C
(1) | Bea masuk pembalasan dikenakan terhadap barang impor yang berasal dari negara yang memperlakukan barang ekspor Indonesia secara diskriminatif. |
(2) | Bea masuk pembalasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tambahan bea masuk yang dipungut berdasarkan Pasal 12 ayat (1). |
Bagian Kelima
Pengaturan dan Penetapan
Pasal 23D
(1) | Ketentuan mengenai persyaratan dan tat cara pengenaan bea masuk antidumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan bea masuk pembalasan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. |
(2) | Besar tarif masuk antidumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan bea masuk pembalasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. |
Pasal 25
(1) | Pembebasan
bea masuk diberikan atas impor :
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Dihapus | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Ketentuan tentang pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Orang
yang tidak memenuhi ketentuan
tentang pembebasan bea masuk yang ditetapkan menurut Undang-undang ini
wajib membayar bea masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi
berupa denda sebesar paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea
masuk yang seharusnya dibayar dan paling banya 500% (lima ratus persen)
dari bea masuk yang seharusnya dibayar. |
Pasal 26
(1) | Pembebasan
atau keringanan bea masuk dapat diberikan atas impor :
|
||||||||||||||||||||||
(2) | Dihapus. | ||||||||||||||||||||||
(3) | Ketentuan mengenai pembebasan atau keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. | ||||||||||||||||||||||
(4) | Orang
yang tidak memenuhi ketentuan
pembebasan atau keringanan bea masuk yang ditetapkan menurut
Undang-Undang ini Wajib membayar bea masuk yang terutang dan dikenai
sanksi administrasi berupa denda sebesar paling sedikit 100% (seratus
persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar dan paling banyak 500%
(lima ratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar. |
Pasal 27
(1) | Pengembalian
dapat diberikan terhadap seluruh atau sebagian bea masuk yang telah
dibayar atas :
|
||||||||||
(2) | Ketentuan tentang pengembalian bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. |
Pasal 30
(1) | Importir bertanggung jawab atas bea masuk yang terutang sejak tanggal pemberitahuan pabean atas impor. |
(2) | Bea masuk yang harus dibayar sebagaimanadimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan tarif yang berlaku pada tanggal pemberitahuan pabean atas impor dan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. |
(3) | Bea masuk harus dibayar dalam mata uang rupiah. |
(4) | Ketentuan mengenai nilai tukar mata uang yang digunakan untuk penghitungan dan pembayaran bea masuk diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. |
Pasal 32
(1) | Pengusaha tempat penimbunan sementara bertanggung jawab atas bea masuk yang terutang atas barang yang ditimbun di tempat penimbunan sementara. | ||||||
(2) | Pengusaha
tempat penimbunan sementara dibebaskan dari tanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal barang yang ditimbun di
tempat penimbunan sementaranya :
|
||||||
(3) | Perhitungan bea masuk yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sepanjang tidak dapat didasarkan pada tarif dan nilai pabean barang yang bersangkutan, didasarkan pada tarif tertinggi untuk golonggan barang yang tertera dalam pemberitahuan pabean pada saat barang tersebut ditimbun di tempat penimbunan sementara dan nilai pabean ditetapkan oleh pejabat bea dan cukai. | ||||||
(4) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) termasuk tata cara penagihan diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. |
BAB VII
PEMBAYARAN, PENAGIHAN UTANG
DAN JAMINAN
Bagian Pertama
Pembayaran
Pasal 36
(1) | Bea masuk, denda administrasi, dan bunga yang terutang kepada negara menurut Undang-Undang ini, dibayar di kas negara atau di tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri. |
(2) | Bea masuk, denda administrasi, dan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibulatkan jumlahnya dalam ribuan rupiah. |
(3) | Ketentuan mengenai tata cara pembayaran, penerimaan, penyetoran bea masuk, denda administrasi, dan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta pembulatan jumlahnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. |
Pasal 37
(1) | Bea masuk yang terutang wajib dibayar paling lambat pada tanggal pendaftaran pemberitahuan pabean. |
(2) | Kewajiban membayar bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan penundaan dalam hal pembayarannya ditetapkan secara berkala atau menunggu keputusan pembebasan atau keringanan. |
(2a) | Penundaan
kewajiban membayar bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) : a. tidak dikenai bunga sepanjang pembayarannya ditetapkan secara berkala; b. dikenai bunga sepanjang permohonan pembebasan atau keringanan ditolak. |
(3) | Ketentuan mengenai penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. |
Pasal 37A
(1) | Kekurangan pembayaran bea masuk dan/atau denda administrasi yang terutang wajib dibayar paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan. |
(2) | Atas permintaan orang yang berutang, Direktur Jenderal dapat memberikan persetujuan penundaan atau pengangsuran kewajiban membayar bea masuk dan/atau denda administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 12 (dua belas) bulan. |
(3) | Penundaan kewajiban membayar bea masuk dan/atau denda administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan bunga 2% (dua persen) setiap bulan dan bagian bulan dihitung 1 (satu) bulan. |
(4) | Ketentuan
mengenai penundaaan
pembayaran utang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan peraturan menteri. |
Pasal 38
(1) | Utang atau tagihan kepada negara berdasarkan Undang-Undang ini yang tidak atau kurang dibayar dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal jatuh tempo sampai hari pembayarannya, dan bagian bulan dihitung 1 (satu) bulan. | ||||
(2) | Penghitungan utang atau tagihan kepada negara menurut Undang-Undang ini dibulatkan jumlahnya dalam rupiah. | ||||
(3) | Jatuh
tempo sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagai berikut :
|
Pasal 41 tetap dengan perubahan penjelasan Pasal 41 sehingga penjelasan Pasal 41 menjadi sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal dalam Undang-Undang ini.
Ketentuan Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) diubah dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disispkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (1a) sehingga Pasal 44 berbunyi sebagai berikut :
Pasal 44
(1) | Dengan
persyaratan tertentu, suatu kawasan, tempat, atau bangunan dapat
ditetapkan sebagai tempat penimbunan berikat dengan mendapatkan
penanggguhan bea masuk untuk :
|
||||||||||||||
(1a) | Menteri dapat menetapkan suatu kawasan, tempat, atau bangunan untuk dilakukannya suatu kegiatan tertentu selain kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai tempat penimbunan berikat. | ||||||||||||||
(2) | Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pendirian penyelenggaraan, pengusahaan, dan perubahan bentuk tempat penimbunan berikat diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah. |
Pasal 45
(1) | Barang
dapat dikeluarkan dari tempat penimbunan berikat atas persetujuan
pejabat bea dan cukai untuk :
|
||||||||||||
(2) |
Barang dari tempat penimbunan berikat yang diimpor untuk dipakai berupa
: a. barang yang telah diolah atau digabungkan; b. barang yang tidak diolah; dan/atau c. barang lainnya, dipungut bea masuk berdasarakan tarif dan nilai pabean yang ditetapkan dengan peraturan menteri. |
||||||||||||
(3) | Orang yang mengeluarkan barang dari tempat penimbunan berikat sebelum diberikan persetujuan oleh pejabat bea dan cukai tanpa bermaksud mengelakan kewajiban pabean, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah). | ||||||||||||
(4) | Pengusaha
tempat penimbunan berikat
yang tidak dapat mempertanggungjawabkan barang yang seharusnya berada
di tempat tersebut wajib membayar bea masuk yang terutang dan dikenai
sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari bea
masuk yang seharusnya dibayar. |
Pasal 49
Importir, eksportir,
pengusaha tempat penimbunan sementara, pengusaha tempat penimbunan
berikat, pengusaha pengurusan jasa kepabeanan, atau pengusaha
pengangkutan wajib menyelenggarakan pembukuan.
Pasal 50
(1) | Atas permintaan pejabat bea dan cukai, orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 wajib menyerahkan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan dengan kegiatan di bidang kepabeanan untuk kepentingan audit kepabeanan. |
(2) | Dalam hal orang sebagaimana ddimaksud pada ayat (1) tidak berada di tempat, kewajiban untuk menyerahkan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan beralih kepada yang mewakili. |
Pasal 51
(1) | Pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 wajib diselenggarakan dengan baik agar menggambarkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya, dan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban, modal, pendapatan, dan biaya. |
(2) | Pembukuan wajib diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, mata uang rupiah, dan bahasa Indonesia, atau dengan mata uang asing dan bahasa asing yang diizinkan oleh menteri. |
(3) | Laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun pada tempat usahanya di Indonesia. |
(4) | Ketentuan
mengenai pedoman penyelenggaraan pembukuan diatur lebih lanjut dengan
atau berdasarkan peraturan menteri. |
Pasal 52
(1) | Orang yang tidak menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dikenai saksi administrasi berupa denda sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) |
(2) | Orang yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), ayat |
(3) | atau
ayat (3) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp
25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) |
BAB X
LARANGAN DAN PEMBATASAN IMPOR ATAU EKSPOR,
PENANGGUHAN IMPOR ATAU EKSPOR BARANG
HASIL PELANGGARAN HAK ATAS KEKAYAAN
INTELEKTUAL, DAN PENINDAKAN ATAS
BARANG YANG TERKAIT DENGAN TERORISME DAN/ATAU
KEJAHATAN LINTAS NEGARA
Pasal 53
(1) | Untuk kepentingan pengawasan terhadap pelaksanaaan ketentuan larangan dan pembatasan, instansi teknis yang menetapkan peraturan larangan dan/atau pembatasan atas impor atau ekspor wajib memberitahukan kepada menteri. | ||||||
(2) | Ketentuan mengenai pelaksanaan pengawasan peraturan larangan dan/atau pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. | ||||||
(3) | Semua
barang yang dilarang atau dibatasi yang tidak memenuhi syarat
untuk diimpor atau diekspor, jika telah diberitahukan dengan
pemberitahuan pabean, atas permintaan importir atau eksportir :
|
||||||
(4) | Barang
yang dilarang atau dibatasi
untuk diimpor atau diekspor yang tidak diberitahukan atau diberitahukan
secara tidak benar dinyatakan sebagai barang yang dikuasai negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, kecuali terhadap barang dimaksud
ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. |
Pasal 54
Atas permintaan pemilik
atau pemegang hak atas merek atau hak cipta, ketua pengadilan niaga
dapat mengeluarkan perintah tertulis kepada pejabat bea dan cukai untuk
menangguhkan sementara waktu pengeluaran barang impor atau ekspor dari
kawaasan pabean yang berdasarkan bukti yang cukup, diduga merupakan
hasil pelanggaran merek dan hak cipta yang dilindungi di Indonesia.
Pasal 56
Berdasarkan perintah
tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, pejabat bea dan cukai :
Pasal 57
(1) | Penangguhan pengeluaran barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf b dilaksanakan untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja. |
(2) | Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan alasan dan dengan syarat tertentu, dapat diperpanjang satu kali untuk paling lama 10 (sepuluh) hari kerja dengan perintah tertulis ketua pengadilan niaga. |
(3) | Perpanjangan
penangguhan terhadap
pengeluaran barang impor atau ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disertai dengan perpanjangan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
55 huruf d. |
Pasal 58
(1) | Atas permintaan pemilik atau pemegang hak atas merek atau cipta yang meminta perintah penangguhan, ketua pengadilan niaga dapat memberi izin kepada pemilik atau pemegang hak tersebut guna memeriksa barang impor atau ekspor yang diminta penagguhan pengeluarannya. |
(2) | Pemberian izin pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh ketua pengadilan niaga setelah mendengarkan dan mempertimbangkan penjelasan serta memperhatikan kepentingan pemilik barang impor atau ekspor yang dimintakan penangguhan pengeluarannya. |
Pasal 59
(1) | Apabila dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), pejabat bea dan cukai tidak menerima pemberitahuan dari pihak yang meminta penangguhan pengeluaran bahwa tindakan hukum yang diperlukan untuk mempertahankan haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku telah dilakukan dan ketua pengadilan niaga tidak memperpanjang secara tertulis perintah penangguhan, pejabat bea dancukai wajib mengakhiri tindakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor yang bersangkutan dan menyelesaikannya sesuai dengan ketentuan kepabeanan berdasarkan Undang-Undang ini. |
(2) | Dalam hal tindakan hukum untuk mempertahankan hak telah mulai dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pihak yang meminta penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor wajib secepatnya melaporkannya kepada pejabat bea dan cukai yang menerima perintah dan melaksanakan penangguhan barang impor dan ekspor. |
(3) | Dalam hal tindakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah diberitahukan dan ketua pengadilan niaga tidak memperpanjang secara tertulis perintah penangguhan sebagaimana dimaksud daalam Pasal 57 ayat (2), pejabat bea dan cukai mengakhiri tindakan penangguhan pengeluaran barang impor dan ekspor yang bersangkutan dan menyelesaikannya sesuai dengan ketentuan kepabeanan berdasarkan Undang-Undang ini. |
Pasal 60
Dalam keadaan tertentu,
importir, eksportir, atau pemilik barang impor atau ekspor dapat
mengajukan permintaan kepada ketua penagadilan niaga untuk
memerintahkan secara tertulis kepada pejabat bea dan cukai agar
mengakhiri penangguhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dengan
menyerahkan jaminan yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf
d.
Pasal 61
(1) | Apabila dari hasil pemeriksaan perkara terbukti bahwa barang impor atau ekspor tersebuttidak merupakan atau tidak berasal dari hasil pelanggaran mereka atau hak cipta, pemilik barang impor atau ekspor berhak untuk memperoleh ganti rugi dari pemilik atau pemegang hak yang meminta penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor tersebut. |
(2) | Pengadilan
niaga yang memeriksa dan
memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat memerintahkan
agar jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d digunakan
sebagai pembayaranatau bagian pembayaran ganti rugi yang harus
dibayarkan. |
Bagian Ketiga
Penindakan Atas Barang yang Terkait dengan
Terorisme dan/atau Kejahatan Lintas Negara
Pasal 64A
(1) | Barang yang berdasarkan bukti permulaan diduga terkait dengan tindakan terorisme dan/atau kejahatan lintas negara dapat dilakukan penindakan oleh pejabat bea dan cukai. |
(2) | Ketentuan mengenai tata cara penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. |
Pasal 75
(1) | Pejabat bea dan cukai dalam melaksanakan pengawasan terhadap sarana pengangkut di laut di sungai menggunakan kapal patroli atau sarana lainnya. |
(2) | Kapal
patroli atau sarana lain yang
dimaksud pada ayat (1) dapat dilengkapi dengan senjata api yang jumlah
dan jenisnya ditetapkan dengan peraturan pemerintah. |
Pasal 78
Pejabat bea dan cukai
berwenang untuk mencuci, menyegel, dan/atau melekatkan tanda pengaman
yang diperlukan terhadap barang impor yang belum diselesaikan kewajiban
pabeannya dan barang ekspor atau barang lain yang harus diawasi menurut
Undang-Undang ini yang berada di sarana pengangkut, tempat penimbun
atau tempat lain.
Pasal 82
(1) | Pejabat bea dan cukai berwenang melakukan pemeriksaan pabean atas barang impor atau barang ekspor setelah pemberitahuan pabean diserahkan. | ||||
(2) | Pejabat bea dan cukai berwenang meminta importir, eksportir, pengangkut, pengusaha tempat penimbunan sementara, pengusaha tempat penimbunan sementara, pengusaha tempat penimbunan berikat, atau yang mewakilinya menyerahkan barang untuk diperiksa, membuka sarana pengakuan atau bagiannya, dan membuka setiap bungkusan atau pengemas yang diperiksa. | ||||
(3) | Jika
permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dipenuhi :
|
||||
(4) | Dihapus. | ||||
(5) | Setiap orang yang salah memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang dalam pemberitahuan pabean atas impor yang mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang kurang dibayar dan paling banyak 1.000% (seribu persen) dari bea masuk yang kurang dibayar. | ||||
(6) | Setiap orang yang salah memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang dalam pemberitahuan pabean atas ekspor yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pengutan negara di bidang ekspor dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 100% (seratus persen) dari pungutan negara di bidang ekspor yang kurang dibayar dan paling banyak 1.000% (seribu persen) dari pungutan negara di bidang ekspor yang kurang dibayar. |
Pasal 82
(1) | Untuk kepentingan pengawasan, pejabat bea dan cukai berwenang melakukan pemeriksaan karena jabatan atas fisik barang impor atau barang ekspor sebelum atau sesudah pemberitahuan pabean disampaikan. |
(2) | Ketentuan mengenai tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. |
Pasal 85
(1) | Pejabat bea dan cukai memberikan persetujuan impor atau ekspor setelah pemberitahuan pabean yang telah memenuhi persyaratan diterima dan hasil pemeriksaan barang tersebut sesuai dengan pemberitahuan pabean. |
(2) | Pejabat bea dan cukai berwenang menunda pemberian persetujuan impor atau ekspor dalam hal pemberitahuan pabean tidak memenuhi persyaratan. |
(3) | Pejabat bea dan cukai berwenang menolak memberikan pelayanan kepabeanan dalam hal orang yang bersangkutan belum memenuhi kewajiban kepabeanan berdasarkan Undang-undang ini. |
Pasal 85A
(1) | Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pejabat bea dan cukai dapat melakukan pemeriksaan pabean terhadap barang tertentu yang diangkut dalam daerah pabean. |
(2) | Pemeriksaan pabean terhadap barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan pada saat pemuatan, pengangkutan, dan/atau pembongkaran di tempat tujuan. |
(3) | Ketentuan mengenai pemeriksaan pabean terhadap barang tertentu sebagaimana dimasud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. |
Pasal 85
(1) | Pejabat bea dan cukai berwenang melakukan audit kepabeanan terhadap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49. | ||||||||
(1a) |
Dalam melaksanakan audit kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pejabat bea dan cukai berwenang :
|
||||||||
(3) | Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 yang menyebabkan pejabat bea dan cukai tidak dapat menjalankan kewenangan audit kepabeanan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah). | ||||||||
(4) | Ketentuan
mengenai tata cara
pelaksanaan audit kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. |
Pasal 86A
Apabila dalam pelaksanaan
audit kepabeanan ditemukan adanya kekurangan pembayaran bea masuk yang
disebabkan oleh kesalahan pemberitahuan jumlah dan/atau jenis barang,
orang wajib membayar bea masuk yang kurang dibayar dan dikenai sankisi
administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (5).
Pasal 88
(1) | Untuk memenuhi kewajiban pabean berdasarkan Undang-Undang ini, pejabat bea dan cukai berwenang memasuki dan memeriksa bangunan atau tempat yang bukan rumah tinggal selain yang dimaksud dalam Pasal 87 dan dapat memeriksa setiap barang yang ditemukan. |
(2) | Selama pemeriksaan atas bangunan atau tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan atas permintaan pejabat bea dan cukai, pemilik atau yang menguasai bangunan atau tempat tersebut wajib menyerahkan surat atau dokumen yang berkaitan dengan barang yang berada di tempat tersebut. |
Pasal 90
(1) | Untuk pemenuhan kewajiban pabean berdasarkan Undang-Undang ini pejabat bea dan cukai berwenang untuk menghentikan dan memeriksa sarana pengangkutan serta barang diatasnya. |
(2) | Sarana pengangkut yang disegel oleh penegak hukum lain atau dinas pos dikecualikan dari pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Pejabat bea dan cukai berdasarkan pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (3) berwenang untuk menghentikan pembongkaran barang dari sarana pengangkutan apabila ternyata barang yang dibongkar tersebut bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. |
(4) | Orang
yang tidak melaksanakan perintah
penghentian pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan
sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 25.000.000,00 (dua puluh
lima juta rupiah). |
Bagian Keempat
Kewenangan Khusus Direktur Jenderal
Pasal 92A
(1) | Direktur
Jenderal karena jabatan atau atas permohonan dari orang yang
bersangkutan dapat :
|
||||
(2) | Ketentuan mengenai tata cara pengajuan permohonan, pembetulan, pengurangan, atau penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. |
BAB XIII
KEBERATAN DAN BANDING
Pasal 93
(1) | Orang yang berkeberatan terhadap penetapan pejabata bea dan cukai mengenai tarif dan/atau nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dapat mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepada Direktur Jenderal dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan dengan menyerahkan jaminan sebesar tagihan yang harus dibayar. |
(1a) | Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak wajib diserahkan dalam hal barang impor belum dikeluarkan dari kawasan pabean. |
(2) | Direktur Jenderal memutuskan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya pengajuan pengajuan keberatan. |
(3) | Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak oleh Direktur Jenderal, jaminan dicairkan untuk membayar bea masuk dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan, dan apabila keberatan dikabulkan jaminan dikembalikan. |
(4) | Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Direktur Jenderal tidak memberikan keputusan, keberatan yang bersangkutan dianggap dikabulkan dan jaminan dikembalikan. |
(5) | Apabila jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa uang tunai dan pengembalian jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak keberatan dikabulkan, pemerintah memberikan bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulannya paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. |
(6) | Ketentuan mengenai tatacara pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. |
Pasal 93A
(1) | Orang yang berkeberatan terhadap penetapan pejabat bea dan cukai selain tarif dan/atau nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dapat mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepada Direktur Jenderal dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan. |
(2) | Sepanjang keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyangkut kekurangan pembayaran bea masuk, jaminan wajib diserahkan sebesar tagihan yang harus dibayar. |
(3) | Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak wajib diserahkan dalam hal barang impor belum di keluarkan dari kawasan pabean. |
(4) | Direktur Jenderal memutuskan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya pengajuan keberatan. |
(5) | Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak oleh Direktur Jenderal, jaminan dicairkan untuk membayar bea masuk dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan, dan apabila keberatan dikabulkan jaminan dikembalikan. |
(6) | Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Direktur Jenderal tidak memberikan keputusan, keberatan yang bersangkutan dianggap dikabulkan dan jaminan dikembalikan. |
(7) | Apabila jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa uang tunai dan pengembalian jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) dilakukan setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak keberatan diterima, pemerintah memberikan bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulannya paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. |
(8) | Ketentuan mengenai pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditaur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. |
Pasal 94
(1) | Orang yang dikenai sanksi administrasi berupa denda dapat mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepada Direktur Jenderal dalam jangka waktu 60 (enam puluh hari) sejak tanggal penetapan dengan menyerahkan jaminan sebesar sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan. |
(2) | Direktur Jenderal memutuskan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya pengajuan keberatan. |
(3) | Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak oleh Direktur Jenderal, jaminan dicairkan untuk membayar sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan, dan apabila keberatan dikabulkan, jaminan dikembalikan. |
(4) | Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Direktur Jenderal tidak memberikan keputusan, keberatan yang bersangkutan dianggap dikabulkan dan jaminan dikembalikan. |
(5) | Apabila jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa uang tunai dan pengembalian jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak keberatan dikabulkan, pemerintah memberikan bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulannya paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. |
(6) | Ketentuan mengenai tatacara pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. |
Pasal 95
Orang yang berkeberatan
terhadap penetapan Direktur Jenderal atas tarif dan nilai pabean
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), keputusan Direktur
Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2), Pasal 93A ayat
(4), atau Pasal 94 ayat (2) dapat mengajukan permohonan banding kepada
Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal
penetapan atau tanggal keputusan, setelah pungutan yang terutang
dilunasi.
Pasal 96 dihapus.
Pasal 97 dihapus.
Pasal 98 dihapus.
Pasal 99 dihapus.
Pasal 100 dihapus.
Pasal 101 dihapus.
Ketentuan BAB XIII Bagian Kedua dihapus.
Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga Pasal 102 berbunyi sebagai berikut :
Pasal 102
Setiap orang yang :
Pasal 102A
Setiap orang yang:
Pasal 102B
Pelanggaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 102 dan Pasal 102A yang mengakibatkan terganggunya
sendi-sensi perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah).
Pasal 102C
Dalam hal perbuatan tindak
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 102, Pasal 102A, Pasal 102B
dilakukan oleh pejabat dan aparat penegak hukum, pidana yang dijatuhkan
dengan pidana sebagaimana ancaman pidana dalam Undang-Undang ini
ditambah 1/3 (satu pertiga).
Pasal 102D
Setiap orang yang
mengangkut barang tertentu yang tidak sampai ke kantor pabean tujuan
dan tidak dapat membuktikan bahwa hal tersebut di luar kemampuannya
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
Rp. 10.000.000.00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah).
Pasal 103
Setiap orang yang :
Pasal 103A
(1) | Setiap orang yang secara tidak sah mengakses sistem elektronik yang berkaitan dengan pelayanan dan/atau pengawasan di bidang kepabeanan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). |
(2) | Perbuatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan
tidak terpenuhinya pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini
dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun
dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). |
Pasal 104
Setiap orang yang :
Pasal 105
Setiap orang yang dengan
sengaja dan tanpa hak membuka, melepas, atau
merusak kunci, segel atau tanda pengaman yang telah dipasang oleh
pejabat bea dan cukai dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara
pling lama 3 (tiga)
tahun dan/ atau pidana denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 106 dihapus.
Pasal 107 tetap dengan perubahan penjelasan pasal 107 sehingga penjelasan Pasal 107 menjadi sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal Undang-Undang ini.
Ketentuan Pasal 108 ayat (3) dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 108 berbunyi sebagai berikut :
Pasal 108
(1) | Dalam
hal suatu tindak pidana yang dapat dipidana menurut
Undang-Undang ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum,
perseroan atau perusahaan,
perkumpulan, yayasan atau koperasi, tuntutan pidana dijatuhkan kepada:
|
||||
(2) | Tindak pidana menurut Undang-Undang ini dilakukan juga oleh atau atas nama badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang baik berdasarkan hubungan lain bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroaan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi tersebut tanpa memperhatikan apakah orang tersebut masing-masing telah melakukan tindakan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama. | ||||
(3) | Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, pada waktu penuntutan diwakili oleh pengurus yang secara hukum dapat dimintai pertanggungjawaban sesuai bentuk badan hukum yang bersangkutan. | ||||
(4) | Terhadap
badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan,
yayasan atau koperasi yang dipidana dengan pidana sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang
ini, pidana pokok yang diijatuhkan senantiasa berupa pidana denda
paling banyak Rp.
1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) jika atas tindak
pidana tersebut diancam
dengan pidana penjara, dengan tidak menghapuskan pidana denda apabila
atas tindak pidana
tersebut diancam dengan |
Pasal 109
(1) | Barang
impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, Pasal 103 huruf
d, atau Pasal 104 huruf a, barang ekspor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 102A, atau
barang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102D yang berasal dari tindak pidana, dirampas untuk negara. |
(2) | Sarana pengangkut yang semata-mata digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dan Pasal 102A, dirampas untuk negara. |
(2a) | Sarana pengangkut yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102D, dapat dirampas untuk negara. |
(3) | Barang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan berdasarkan
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 73. |
BAB XV A
PEMBINAAN PEGAWAI
Pasal 113A
(1) | Sikap dan perilaku pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terikat pada kode etik yang menjadi pedoman pelaksanaan tugas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. |
(2) | Pelanggaran terhadap kode etik oleh pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diselesaikan oleh Komisi Kode Etik. |
(3) | Ketentuan mengenai kode etik diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri |
(4) | Ketentuan
mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja Komisi Kode
Etik diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. |
Pasal 113B
Apabila pejabat bea dan
cukai dalam menghitung atau menetapkan bea
masuk atau bea keluar tidak sesuai dengan Undang-Undang ini sehingga
mengakibatkan belum
terpenuhinya pungutan negara, pejabat bea dan cukai dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 113C
(1) | Dalam
hal terdapat indikasi kepabeanan yang menyangkut pegawai
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Menteri dapat menugasi unit
pemeriksa internal di lingkungan
Departemen Keuangan untuk melakukan pemeriksaan pegawai guna menemukan bukti permulaan. |
(2) | Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan peraturan menteri. |
Pasal 113D
(1) | Orang perseorangan, kelompok orang, dan/atau unit kerja yang berjasa dalam menangani pelanggaran kepabeanan berhak memperoleh premi. |
(2) | Jumlah
premi diberikan paling banyak sebesar 50% (lima puluh
persen) dari sanksi administrasi berupa denda dan/atau hasil lelang
barang yang berasal
dari tindak pidana kepabeanan. |
(3) | Dalam hal hasil tangkapan merupakan barang yang dilarang dan/atau dibatasi yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh dilelang, besar nilai barang sebagai dasar perhitungan premi ditetapkan oleh Menteri. |
(4) | Ketentuan
mengenai pemberian premi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. |
Pasal 115A
(1) | Barang yang dimasukkan atau dikeluarkan ke dan dari serta berada di kawasan yang telah ditunjuk sebagai daerah perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas dapat diawasi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. |
(2) | Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih
lanjut dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah. |
Pasal 115B
(1) | Berdasarkan permintaan masyarakat, Direktur Jenderal memberikan informasi yang dikelolanya, kecuali informasi yang sifatnya tertentu. |
(2) | Ketentuan
mengenai pemberian informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. |
Pasal 115C
(1) | Setiap pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dilarang memberitahukan segala sesuatu yang diketahuinya atau diberitahukan kepadanya oleh orang dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan Undang-Undang ini kepada pihak lain yang tidak berhak. |
(2) | Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal untuk membantu pelaksanaan ketentuan Undang-Undang ini. |
(3) | Menteri
secara tertulis berwenang memerintahkan pegawai Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) agar
memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti dari orang kepada pejabat pemeriksa untuk keperluan pemeriksaan keuangan negara. |
(4) | Untuk
kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana,
atas permintaan hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, Menteri dapat memberi izin tertulis kepada
pegawai
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2)
untuk memberikan bukti dan keterangan yang ada padanya kepada hakim. |
Pasal II
Ketentuan Peralihan
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 15 Nopember 2006
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
Dr. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 93
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2006
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN
Pesatnya perkembangan
industri dan perdagangan menimbulkan tuntutan
masyarakat agar pemerintah dapat memberikan kepastian hukum dalam
usaha. Pemerintah khususnya
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang berfungsi sebagai
fasilitas perdagangan harus dapat
membuat suatu hukum kepabeanan yang dapat mengantisipasi perkembangan
dalam masyarakat
dalam rangka memberikan pelayanan dan pengawasan lebih cepat, lebih
baik, dan lebih murah.
Sejak berlakunya Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan,
masyarakat menganggap bahwa rumusan tindak pidana penyelundupan yang
diatur dalam Pasal 102
Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang menyatakan bahwa
"Barangsiapa yang
mengimpor atau mengekspor barang tanpa mengindahkan ketentuan
Undang-undang ini
dipidana karena melakukan penyelundupan", kurang tegas karena dalam
penjelasan dinyatakan bahwa
pengertian "tanpa mengindahkan" adalah sama sekali tidak memenuhi
ketentuan atau
prosedur. Hal ini berarti jika memenuhi salah satu kewajiban seperti
menyerahkan pemberitahuan pabean
tanpa melihat benar atau salah, tidak dapat dikatagorikan sebagai
penyelundupan sehingga
tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, oleh karenanya dipandang perlu
untuk merumuskan kembali
tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana
penyelundupan.
Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan secara eksplisit
menyebutkan bahwa kewenangan DJBC adalah melakukan pengawasan atas
lalulintas barang yang
masuk atau keluar daerah pabean, namun mengingat letak goegrafis
Indonesia sebagai negara
kepulauan yang lautnya berbatasan langsung dengan negara tetangga, maka
perlu dilakukan
pengawasan terhadap pengangkutan barang yang diangkut melalui laut di
dalam daerah pabean
untuk menghindari penyelundupan dengan modus pengangkutan antar pulau,
khususnya untuk
barang tertentu. Secara implisit dapat dikatakan bahwa pengawasan
pengangkutan barang tertentu
dalam daerah pabean merupakan perpanjangan kewenangan atau bagian yang
tidak terpisahkan
dari kewenangan pabean sebagai salah satu instansi pengawasan
perbatasan.
sehubungan dengan hal tersebut mesyarakat memandang perlu untuk
memberikan kewenangan kepada DJBC untuk mengawasi pengangkutan barang
tertentu yang diusulkan
oleh instansi teknis terkait.
Tempat Penimbunan Berikat (TPB) sebagai bentuk insentif di bidang
kepabeanan yang selama ini diberikan, tidak dapat menampung tuntutan
investor luar negeri untuk
dapat melakukan pelelangan, daur ulang, dan kegiatan lain karena adanya
pembatasan tujuan TPB hanya
untuk menimbun barang impor untuk diolah, dipamerkan, dan/atau
disediakan untuk dijual. Untuk
menghindari beralihnya investasi ke negara-negara tetangga serta
sebagai daya tarik bagi
investor asing perlu diberikan suatu insentif, kepastian hukum, dan
kepastian berusaha dengan perluasan
fungsi TPB.
Dalam kaitannya dengan perdagangan internasional, Undang-undang
kepabeanan idealnya dapat mengikuti konvensi internasional dan praktek
kepabeanan internasional
sehingga perlu melakukan penyesuaian Undang-undang Kepabeanan Indonesia
dengan menambahkan atau
mengubah ketentuan sebagai dengan konvensi tersebut.
Pasal 96 sampai dengan Pasal 101 Undang-undang Nomor
10 Tahun 1995
tentang Kepabeanan, mengatur lembaga banding. Namun ternyata lembaga
tersebut belum
dibentuk dengan pertimbangan telah dibentuk badan penyelesaian sengketa
pajak berdasarkan
Undang-undang
Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
yang kemudian diganti dengan
Pengadilan Pajak berdasarkan Undang-undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Kompetensi Pengadilan Pajak mencakup banding di bidang kepabeanan
sehingga Pasal 96 sampai
dengan Pasal 101 Undang- undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang kepabenan
tidak diperlukan lagi dan
dihapus.
Sesuai dengan Agreement on Implementation of Article VI of General
Agreement on Trade and Tarif (GATT) 1994, Article 22 menyebutkan bahwa
perundang-undangan nasioanal
harus memuat ketentuan penetapan nilai pabean sesuai World Trade
Organization (WTO) Valuation
Agreement. Dalam Article 4 Konvensi tersebut diatur bahwa metode
komputasi dapat digunakan
mendahului metode deduksi atas permintaan importir. Indonesia telah
menggunakan kesempatan untuk
menunda pelaksanaan Article 4 Konvensi tersebut selama 5 (lima) tahun
yang berakhir pada tahun 2000,
sehingga ketentuan penetapan nilai pabean sesuai Article 4 Konvensi
tersebut harus
dimasukkan dalam perubahan Undang-undang Kepabeanan ini.
Pasal 1
Cukup Jelas
Ayat (1)
Ayat ini memberikan
penegasan pengertian impor secara yuridis, yaitu
pada saat berang memasuki daerah pebean dan menetapkan saat barang
tersebut
terutang bea masuk serta merupakan dasar yuridis bagi pejabat bea dan
cukai untuk
melakukan pengawasan.
Ayat (2)
Ayat ini memberikan
penegasan tentang pengertian ekspor. Secara nyata
ekspor terjadi pada saat barang melintasi daerah pabean, namun
mengingat dari
segi pelayanan dan pengamanan tidak mungkin menempatkan pejabat bea dan
cukai disepanjang garis perbatasan untuk memberikan pelayanan dan
melakukan pengawasan barang ekspor, maka secara yuridis ekspor dianggap
telah
terjadi pada saat barang tersebut telah dimuat di sarana pengangkut
yang akan
berangkat ke luar daerah pabean.
Yang dimaksud dengan sarana pengangkut, yaitu setiap kendaraan, pesawat
udara, kapal laut, atau sarana lain yang digunakan untuk mengangkut
barang
atau orang.
Yang dimaksud dimuat yaitu dimasukannya barang ke dalam sarana
pengangkut dan telah diajukan pemberitahuan pebean termasuk dipenuhinya
pembayaran bea
keluar.
Ayat (3)
Ayat ini memberikan
penegasan bahwa walaupun barang tersebut telah
dimuat di sarana pengangkut yang akan berangkat ke luar daerah pabean,
jika dapat
dibuktikan barang tersebut akan dibongkar di dalam daerah pabean dengan
menyerahkan suatu pemberitahuan pabean, barang tersebut tidak dianggap
sebagai barang
ekspor.
Pengenaan bea keluar dalam
pasal ini dimaksudkan untuk melindungi
kepentingan nasional, bukan untuk membebani daya saing komoditi ekspor
di pasar internasional.
Ayat (1)
Untuk memperoleh data dan
penilaian yang tepat mengenai pemberitahuan
pabean yang diajukan terhadap barang impor dilakukan pemeriksaan pebean
dalam
bentuk penelitian terhadap dokumen dan pemeriksaan atas fisik barang.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Pada dasarnya pemeriksaan
pabean dilakukan dalam daerah pabean oleh
pejabat bea dan cukai secara selektif dengan mempertimbangkan risiko
yang melekat
pada barang dan importir. Namun, dengan mempertimbangkan kelancaran
arus barang
dan/atau pengamanan penerimaan negara, Menteri dapat menetapkan
pelaksanaan pemeriksaan pabean di luar daerah pabean oleh pejabat bea
dan cukai
atau pihak lain yang bertindak untuk dan atas nama Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Pada dasarnya pemeriksaan
pabean dilakukan di dalam daerah pabean oleh
pejabat bea dan cukai.
Dalam rangka mendorong ekspor, terutama dalam kaitannya dengan upaya
untuk meningkatkan daya saing barang ekspor Indonesia di pasar dunia,
diperlukan suatu kecepatan dan kepastian bagi ekportir. Dengan
demikian, pemeriksaan pabean dalam
bentuk pemeriksaan fisik atas barang ekspor harus diupayakan seminimal
mungkin
sehingga terhadap barang ekspor pada dasarnya hanya dilakukan
penelitian terhadap
dokumennya. Untuk memperoleh data dan penilaian yang tepat mengenai
pemberitahuan
pabean yang diajukan, pasal ini memberikan kewenangan kepada menteri
untuk dalam
hal-hal tertentu dapat mengatur tata cara pemeriksaan fisik atas barang
ekspor.
Pasal 4A
Ayat (1)
Pengawasan pengangkutan
barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
ini hanya dilakukan terhadap pengangkutan barang tersebut dari satu
tempat
ke tempat lain dalam daerah pabean yang dilakukan melalui laut.
Pengawasan pengangkutan barang tertentu ini bertujuan untuk mencegah
penyelundupan ekspor dengan modus pengangkutan antar pulau
barang-barang strategis seperti hasil hutan, hasil tambang, atau barang
yang mendapat
subsidi.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan
intansi teknis terkait yaitu kementerian atau
lembaga pemerintah nondepartemen yang berwenang.
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (1)
Dilihat dari keadaan
geografis Negara Republik Indonesia yang demikian
luas dan merupakan negara kepulauan, maka tidak mungkin menempatkan
pejabat bea
dan cukai di sepanjang pantai untuk menjaga agar semua barang yang
dimasukan ke atau yang dikeluarkan dari daerah pabean memenuhi
ketentuan yang telah
ditetapkan. Oleh sebab itu, ditetapkan bahwa pemenuhan kewajiban pabean
hanya dapat
dilakukan di kantor pabean. Penegasan bahwa pemenuhan kewajiban pabean
dilakukan
di kantor pabean maksudnya yaitu jika kedapatan barang dibongkar atau
dimuat di
suatu tempat yang tidak ditunjuk sebagai kantor pabean berarti terjadi
pelanggaran
terhadap ketentuan Undang-Undang ini. Dengan demikian, pengawasan lebih
mudah dilakukan, sebab tempat untuk memenuhi kewajiban pabean seperti
penyerahan pemberitahuan pabean atau pelunasan bea masuk telah
dibatasasi dengan penunjukan kantor pabean
yang disesuaikan dengan kebutuhan perdagangan dan perekonomian, atau
apabila
dengan cara tersebut kewajiban pabean di tempat selain di kantor pabean
tersebut bersifat sementara.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Untuk keperluan pelayanan,
pengawasan, kelancaran lalu lintas barang
dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan negara,
Undang-Undang
ini menetapkan adanya kawasan pabean di pelabuhan laut, bandar udara,
atau
tempat lain yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat
Jenderal Bea
dan Cukai dan menetapkan adanya kantor pabean. Penunjukan pos
pengawasan pabean dimaksudkan untuk tempat pejabat bea
dan cukai melakukan pengawasan. Pos tersebut merupakan bagian dari
kantor pabean
dan di tempat tersebut tidak dapat dipenuhi kewajiban pabean.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (1)
Data elektronik (softcopy)
yaitu informasi atau rangkaian informasi
yang disusun dan/atau dihimpun untuk kegunaan khusus yang diterima,
direkam, dikirim,
disimpan, diproses, diambil kembali, atau diproduksi secara elektronik
dengan
menggunakan komputer atau perangkat pengolah data elektronik, optikal,
atau cara
lain yang sejenis.
Ayat (2) s/d Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (1)
Ayat ini mengandung arti
bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan
penyelesaian kewajiban pabean atas barang impor atau ekspor harus
didasarkan pada
ketentuan dalam Undang-Undang ini yang pelaksanaan penegakannya
dilakukan oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (1)
Dengan semakin
berkembangnya penggunaan teknologi informasi dalam
kegiatan kepabeanan, diperlukan adanya sarana untuk mengenali pengguna
jasa
kepebeanan melalui nomor identitas pribadi yang diberikan Direktorat
Jenderal Bea
dan Cukai. Dengan nomor identitas pribadi itu dimaksudkan bahwa hanya
orang yang
memiliki nomor identitas tersebut yang dapat mengakses atau berhubungan
dengan
sistem teknologi informasi kepabeanan.
Pemerolehan nomor
identitas tersebut dapat dilakukan dengan cara
registrasi, misalnya registrasi importir, eksportir, dan pengusaha
pengurusan jasa
kepabeanan.
Ayat (2)
Pengecualian yang dimaksud
pada ayat ini diberikan kepada orang yang
menyelesaiakan kewajiban pabean tertentu antara lain atas barang
penumpang, barang diplomatik, atau barang kiriman melalui pos atau
perusahaan jasa
titipan.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (1)
Ketentuan ini mengatur
kewajiban bagi pengangkut untuk memberitahukan
rencana kedatangan sarana pengangkutnya sebelum sarana pengangkut tiba
di
kawasan pabean, baik terhadap sarana pengangkut yang melakukan
kegiatannya
secara reguler
(liner maupun sarana pengangkut yang tidak secara teratur berada di
kawasan pabean (tramper), Hal ini dimaksudkan untuk lebih meningkatkan
pengawasan
pabean atas barang impor dan/atau barang ekspor.
Yang dimaksud dengan saat kedatangan sarana pengangkut yaitu:
a. saat lego jangkar di perairan pelabuhan untuk sarana pengangkut
melalui laut;
b. saat mendarat di landasan bandar udara untuk sarana pengangkut
melalui udara.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan
manifes yaitu daftar barang niaga yang dimuat
dalam sarana pengangkut.
Ayat (3)
Pemberitahuan pabean pada
ayat ini berisi informasi tentang semua
barang niaga yang diangkut dengan sarana pengangkut, baik barang impor,
barang ekspor,
maupun barang asal daerah pabean yang diangkut yang diangkut ke tempat
lain
dalam daerahpabean melalui luar daerah pabean.
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Ketentuan mengenai
berlabuh pada ayat ini dihitung sejak kedatangan
sarana pengangkut sebagaimana dimaksud pada penjelasan ayat (1).
Ayat (6)
Pada dasarnya barang impor
hanya dapat dibongkar setelah diajukan
pemberitahuan pabean tentang kedatangan sarana pengangkut. Akan tetapi,
jika sarana
pengangkut mengalami keadaan darurat seperti mengalami kebakaran,
kerusakan mesin
yang tidak dapat diperbaiki, terjebak dalam cuaca buruk, atau hal lain
yang
terjadi di luar kemampuan manusia dapat diadakan pengecualian dengan
melakukan
pembongkaran tanpa memberitahukan terlebih dahulu tentang kedatangan
sarana
pengangkut.
huruf a
Yang dimaksud dengan
kantor pabean terdekat yaitu kantor pabean yang
paling mudah dicapai. melaporkan keadaan darurat sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan ini dapat dilakukan dengan menggunakan radio panggil,
telepon, atau
faksimile.
huruf b
Cukup Jelas.
Ayat (7) s/d Ayat (9)
Cukup Jelas.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
pengangkutan pada ayat ini yaitu pengangkutan
barang impor yang tidak melalui laut (inland transportation).
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan
pengusaha pada ayat ini yaitu pengusaha tempat
penimbunan sementara atau pengusaha tempat penimbunan berikat.
Yang dimaksud dengan
importir yaitu orang yang mengimpor.
Ayat (3) dan ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (1)
Mengingat tenaga listrik,
barang cair, atau gas bersifat khusus,
pengangkutan terhadap barang tersebut dilakukan dengan cara khusus
antara lain melalui
transmisi atau saluran pipa.
Pemberitahuan paeban atas impor atau ekspor barang tersebut harus
didasarkan pada jumlah dan jenis barang pada saat pengukuran di tempat
pengukuran
terakhir dalam daerah pabean.
Ayat (2)
Peranti lunak (software)
dapat berupa serangkaian program dalam sistem
komputer yang memerintahkan komputer apa yang harus dilakukan.
Peranti lunak dan data
elektronik (softcopy) merupakan barang yang
menjadi objek dan Undang-Undang ini dan pengangkutan atau pengirimannya
dapat
dilakukan melalui transmisi eletronik misalnya melalui media internet.
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan
dokumen yang sah yaitu dokumen yang dipersyaratkan
dalam pengangkutan barang tertentu.
Ayat (3)
Sanksi administrasi berupa
denda dikenakan terhadap kelebihan atau
kekurangan barang tertentu pada saat pengangkutan atau pembongkaran.
Ayat (4) dan Ayat (5)
Cukup Jelas.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
barang impor yaitu barang impor baik yang diangkut
lanjut maupun yang diangkut terus.
Ayat (2) s/d Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (1)
Pembongkaran di tempat
lain dilakukan dengan memperhatikan teknis
pembongkaran atau sebab lain atas pertimbangan kepala kantor pabean,
misalnya sarana
pengangkut tidak dapat sandar di dermaga atau alat bongkar tidak
tersedia.
Ayat (2)
Yang dimaksud pembongkaran
pada ayat ini yaitu pembongkaran barang dari
sarana pengangkut yang satu ke sarana pengangkut lainnya, dilakukan di
pelabuhan yang belum dapat disandari langsung sehingga pembongkaran
dilakukan di luar
pelabuhan (reede).
Yang dimaksud dengan jalur yang ditetapkan yaitu jalur yang harus
dilalui oleh sarana pengangkut yang meneruskan pengangkutan reede ke
kantor pabean.
Ayat (3)
Kewajiban pada ayat ini
yang harus dilakukan oleh pengangkut atau
kuasanya yaitu memberitahukan kedatangan sarana pengangkut dengan
pemberitahuan pabean
kepada pejabat bea dan cukai dan dokumen tersebut harus memuat atau
berisi
semua barang impor yang diangkut di dalam sarana pengangkut tersebut,
baik berupa
barang dagangan maupun bekal kapal. Apabila jumlah barang yang
dibongkar
kurang dari jumlah yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean,
pengangkutan
berdasarkan ketentuan pada ayat ini dianggap telah memasukkan barang
impor tersebut
ke peredaran bebas sehingga selain wajib membayar bea masuk atas barang
yang kurang dibongkar tersebut, juga dikenai sanksi administrasi berupa
denda, jika yang bersangkutan tidak dapat membuktikan bahwa kekurangan
barang yang
dibongkar tersebut bukan karena kesalahannya.
Dalam hal barang yang
diangkut dalam kemasan, yang dimaksud dengan
jumlah barang yaitu jumlah kemasan.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Ketentuan ini dimaksudkan
bahwa penimbunan barang di tempat penimbunan
sementara bukan merupakan keharusan karena penimbunan tersebut hanya
dilakukan dalam hal barang tidak dapat dikeluarkan dengan segera.
Ayat (6)
Yang dimaksud dalam hal
tertentu yaitu apabila penimbunan di tempat
penimbunan sementara tidak dapat dilakukan seperti kongesti, kendala
teknis
penimbunan, sifat barang, atau sebab lain sehingga tidak memungkinkan
barang impor
ditimbun. Termasuk dalam pengertian ini yaitu pemberian fasilitas
penimbunan
selain di tempat penimbunan sementara dengan tujuan untuk menghindari
beban biaya
penumpukan yang mungkin atau yang telah timbul selama dalam proses
pemenuhan
kewajiban pabean.
Ketentuan yang berlaku
pada tempat penimbunan sementara berlaku di
tempat lain yang dimaksud pada ayat ini.
Ayat (7)
Huruf a s/d Huruf d
Cukup Jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengang
barang diangkut terus yaitu barang yang diangkut
dengan sarana pengangkut melalui kantor pabean tanpa dilakukan
pembongkaran terlebih dahulu.
Yang dimaksud dengan barang diangkut lanjut yaitu barang yang diangkut
dengan sarana pengangkut melalui kantor pabean dengan dilakukan
pembongkaran terlebih dulu.
Huruf f
Yang dimaksud dengan
diekspor kembali antara lain :
1) pengiriman kembali barang impor keluar daerah pabean karena ternyata
tidak sesuai dengan yang dipesan;
2) oleh karena suatu ketentuan baru dari pemerintah tidak boleh diimpor
ke dalam daerah pabean.
Ayat (8)
Pengeluaran barang pada
ayat ini dilakukan tanpa bermaksud untuk
mengelakkan pembayaran bea masuk, karena telah diajukan pemberitahuan
pabean dan
bea masuknya telah dilunasi, akan tetapi karena pengeluarannya tanpa
persetujuan pejabat bea dan cukai, atas pelanggaran tersebut dikenai
sanksi
administrasi berupa denda.
Ayat (9)
Cukup Jelas.
Ayat (1)
Huruf a dan Huruf b
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup Jelas.
Huruf b
Ketentuan ini
memungkinkan importir yang memenuhi persyaratan, untuk
mengeluarkan barang impor untuk dipakai sebelum melunasi bea masuk yang
terutang dengan menyerahkan jaminan. Namun, importir wajib
menyelesaikan kewajibannya dalam jangka waktu yang ditetapkan menurut
Undang-Undang ini. Kemudahan ini diberikan dengan tujuan untuk
memperlancar arus barang.
Huruf c
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan
penumpang yaitu setiap orang yang melintas
perbatasan wilayah negara dengan menggunakan sarana pengangkut, tetapi
bukan awak
sarana pengangkut dan bukan pelintas atas.
Yang dimaksud dengan awak sarana pengangkut yaitu setiap orang yang
karena sifat pekerjaannya harus berada dalam sarana pengangkut dan
datang bersama
sarana pengangkut.
Yang dimaksud dengan pelintas batas yaitu penduduk yang berdiam atau
bertempat tinggal dalam wilayah perbatasan negara serta memiliki kartu
identitas
yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang dan yang melakukan
perjalanan
lintas batas di daerah perbatasan melalui pos pengawas lintas batas.
Yang dimaksud dengan diberitahukan yaitu menyampaikan pemberitahuan
secara lisan atau tertulis.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan
persetujuan pejabat bea dan cukai yaitu penetapan
pejabat bea dan cukai yang menyatakan bahwa barang tersebut telah
tepenuhi
kewajiban pabeanberdasarkan Undang-Undang ini.
Ayat (5)
Cukup Jelas.
Ayat (6)
Ketentuan pada ayat ini
mengatur tentang pengenaan sanksi administrasi
berupa denda kepada importir yang memperoleh kemudahan berdasarkan
ketentuan pada
ayat (2) huruf b atau huruf c, yaitu mengimpor barang untuk dipakai
sebelum
melunasi bea masuk dengan penyerahan jaminan, tetapi tidak
menyelesaikan kewajiban
untuk membayar bea masuk menurut jangka waktu yang ditetapkan
berdasarkan
Undang-Undang ini.
Ayat (1)
Kekhilafan yang nyata
adalah kesalahan atau kekeliruan yang bersifat
manusiawi dalam suatu pemberitahuan pabean yang sering terjadi dalam
bentuk
kesalahan tulis, kesalahan hitung dan/atau kesalahan penerapan
peraturan yang seharusnya
tidak perlu terjadi, dan tidak mengandung persengketaan antara pejabat
bea
dan cukai dengan penguna jasa kepabeanan, misalnya :
- | Kesalahan tulis berupa kesalahan penulisan nama atau alamat; |
- | kesalahan hitung berupa kesalahan perhitungan bea masuk atau pajak; |
- | kesalahan penerapan aturan berupa ketidaktahuan adanya perubahan peraturan, sering terjadi pada awal berlakunya peraturan baru. |
Ayat (2)
Huruf a dan Huruf b
Cukup Jelas.
Huruf c
Penetapan pejabat bea dan
cukai dapat juga merupakan penetapan dengan
menggunakan sistem komputer pelayanan.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (1)
Tujuan pengaturan impor
sementara yaitu memberikan kemudahan atas
pemasukan barang dengan tujuan tertentu, misalnya barang perlombaan;
kendaraan
yang dibawa oleh wisatawan; peralatan penelitian; peralatan yang
digunakan oleh
teknisi, wartawan, dan tenaga ahli; kemasaan yang dipakai
berulang-ulang; dan
barang keperluan proyek yang digunakan sementara waktu yang pada saat
pengimpornya telah jelas bahwa barang tersebut akan diekspor kembali.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Mengingat pemasukannya
hanya untuk sementara, barang-barang tersebut
diberikan pembebasan atau keringanan bea masuk.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan
terlambat yaitu barang tersebut telah selesai
dipergunakan sesuai dengan jangka waktu yang diizinkan, tetapi yang
bersangkutan
tidak mengurus administrasi kepabeanannya sampai dengan tanggal jatuh
tempo.
Perhitungan bea masuk pada ayat ini dihitung berdasarkan tarif dan
nilai pabean pada saat pengajuan pemberitahuan pabean atas impor
sementara tersebut.
Ayat (6) dan Ayat (7)
Cukup Jelas.
Ayat (1)
Pemberitahuan pada ayat
ini dimaksudkan sebagai sarana untuk melakukan
pengawasan terhadap barang yang akan dikeluarkan dari pabean.
Ayat (2) s/d Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan
dibatalkan yaitu dibatalkan seluruh atau sebagian.
Ayat (6) dan Ayat (7)
Cukup Jelas.
Ayat (1)
Ayat ini memberikan
kewenangan kepada menteri untuk menetapkan tarif
bea masuk yang besarnya berbeda dengan tarif yang dimaksud dalam Pasal
12 ayat
(1).
Huruf a
Tarif bea masuk dikenakan
berdasarkan perjanjian atau kesepakatan yang
dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara lain
atau beberapa negara lain, misalnya bea masuk berdasarkan Common
Effective Preferential Tariff for Asean Free Trade Area (CEPT for AFTA).
Huruf b
Dalam rangka mempermudah
dan mempercepat penyelesaian impor barang
bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang
kiriman melalui pos atau jasa titipan, dapat dikenakan be masuk
berdasarkan tarif yang berbeda dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12
ayat (1), misalnya dengan pengenaan tarif rata-rata. Ketentuan ini
perlu, mengingat barang-barang yang dibawa oleh para penumpang, awak
sarana pengangkut, dan pelintas batas pada umumnya terdiri dari
beberapa jenis.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
sistem klasifikasi barang dalam pasal ini yaitu
suatu daftar penggolongan barang yang dibuat secara sistematis dengan
tujuan untuk mempermudah penarifan, transaksi perdagangan,
pengangkutan, dan
statistik.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan nilai
transaksi yaitu harga yang sebenarnya
dibayar atau seharusnya dibayar oleh pembeli kepada penjual atas barang
yang dijual
untuk diekspor ke daerah pabean ditambah dengan :
a) |
dipasok dengan cuma-cuma atau dengan harga diturunkan; |
b) |
untuk kepentingan produksi dan penjualan untuk ekspor barang impor yang dibelinya; |
c) |
harganya belum termasuk dalam harga yang sebenarnya atau yang seharusnya dibayar dari barang impor yang bersangkutan. |
Ayat (2)
Dua barang dianggap
identik apabila keduanya sama dalam segala hal,
setidak-tidaknya karakter fisik, kualitas, dan reputasinya sama, serta :
a. diproduksi oleh produsen yang sama di negara yang sama; atau
b. diproduksi oleh produsen lain di negara yang sama.
Ayat (3)
Dua barang dianggap serupa
apabila keduanya memiliki karakter fisik dan
komponen material yang sama sehingga dapat menjalankan fungsi yang sama
dan
secara
komersial dapat dipertukarkan serta :
a. diproduksi oleh produsen yang sama di negara yang sama; atau
b. diproduksi oleh produsen lain di negara yang sama.
Ayat (3a)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud metode
deduksi yaitu metode untuk menghitung nilai barang
pabean barang impor berdasarkan harga jual dari barang impor yang
bersangkutan, barang impor yang identik atau barang yang serupa di
pasar dalam daerah pabean
dikurangi biaya atau pengeluaran, atara lain komisi atau keuntungan,
transportasi, asuransi, bea masuk, dan pajak.
Ayat (5)
yang dimaksud dengan
metode komputasi yaitu metode untuk menghitung
nilai pabean barang impor berdasarkan penjumlahan harga bahan baku,
biaya
proses pembuatan, dan biaya/pengeluaran lainnya sampai barang tersebut
tiba di
pelabuhan atau tempat impor di daerah pabean.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan
pembatasan tertentu yaitu bahwa dalam penghitungan
nilai pabean barang impor berdasarkan ayat ini tidak diizinkan
ditetapkan
berdasarkan :
Ayat (7)
Cukup Jelas.
Penetapan tarif dan nilai
pabean atas pemberitahuan pabean secara self
assesment hanya dilakukan dalam hal tarif dan nilai pabean yang
diberitahukan berbeda
dengan tarif yang ada dan/atau nilai pabean barang yang sebenarnya
sehingga :
a. bea masuk kurang dibayar dalam hal tarif dan/atau nilai pabean yang
ditetapkan lebih tinggi;
b. bea masuk lebih dibayar dalam hal tarif dan/atau nilai pabean yang
ditetapkan lebih rendah.
Dalam hal tertentu atas
barang impor dilakukan penetapan tarif dan
nilai pabean untuk penghitungan bea masuk setelah pemeriksaan fisik,
tetapi sebelum
diserahkan pemberitahuan pabean.
Dalam rangka memberikan kepastian pelayanan kepada masyarakat, jika
pemberitahuan pabean sudah didaftarkan, penetapan harus sudah diberikan
dalam waktu
30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pendaftaran. Batas waktu 30 (tiga
puluh) hari
dianggap cukup bagi pejabat bea dan cukai untuk mengumpulkan informasi
sebagai dasar pertimbangan
dalam melakukan penetapan.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
penetapan tarif sebelum penyerahan pemberitahuan
pabean yaitu penetapan tarif yang dilakukan terhadap impor tertentu
secara
official assesment.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan
penetapan nilai pabean sebelum penyerahan
pemberitahuan pabean yaitu penetapan nilai pabean yang dilakukan
terhadap importasi
tertentu seperti impor sementara, barang penumpang, atau barang kiriman
secara
official assesment.
Ayat (3) s/d Ayat (6)
Cukup Jelas.
Ayat (1)
Pada dasarnya penetapan
pejabat bea dan cukai sudah mengikat dan dapat
dilaksanakan. Akan tetapi, jika hasil penelitian ulang atas
pemberitahuan pabean atau dalam hal pelaksanaan audit kepabeanan
ditemukan adanya kekurangan
dan/atau kelebihan pembayaran bea masuk yang disebabkan oleh kesalahan
pemberitahuan tarif dan/atau nilai pabean, Direktur Jenderal membuat
penetapan
kembali.
Ayat (2) dan Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Ketentuan ini dimaksud
bahwa pada dasarnya yang mengetahui besarnya
suatu transaksi yang dilakukan hanyalah pihak penjual dan pembeli
sehingga
kebenaran pemberitahuan nilai transaksi semata-mata tergantung pada
kejujuran
pihak yang yang bertransaksi. Oleh karena itu, kesalahan akibat ketidak
jujuran
yang ditemukan dalam penelitian kembali atau dalam pelaksanaan audit
kepabeanan
dikenai sanksi administrasi berupa denda.
Penetapan Direktur
Jenderal sebelum diajukan pemberitahuan pabean dalam
pasal ini yaitu dalam rangka memberikan pelayanan kepada pengguna jasa
dan menyesuaikan
dengan praktik kepabeanan internasional yang lazim dikenal sebagai
Pre-Entry
Clas-sification dan Valuation Ruling. Yang dimaksud dengan Pre-Entry
Classification yaitu
penetapan klasifikasi barang oleh Direktur Jenderal terhadap importasi
barang sebelum sebelum
diajukan pemberitahuan pabean atas permohonan importir.
Yang dimaksud dengan
Valuation Ruling yaitu penetapan nilai pabean oleh
Direktur Jenderal yang dibuat berdasarkan hasil audit kepabeanan
terhadap importasi
barang yang telah dan akan dilakukan oleh importir dalam jangka waktu
tertentu.
Pasal 23A
Yang dimaksud dengan bea
massuk tindakan pengamanan (safeguard) yaitu
bea masuk yang dipungut sebagai akibat tindakan yang diambil pemerintah
untuk
memulihkan kerugian serius dan/atau mencegah ancaman kerugian serius
terhadap industri dalam
negeri sebagai akibat dari lonjakan impor baranhg sejenis atau barang
yang secara langsung
merupakan saingan hasil industri dalam negeri dengan tujuan agar
industri dalam negeri
yang mengalami kerugian serius dan/atau ancaman kerugian serius
tersebut dapat melakukan
penyesuaian struktur.
Dalam hal tindak pengamanan telah ditetapkan dalam bentuk kuota
(pembatasan impor), maka bea masuk tindakan pengamanan tidak harus
dikenakan.
Yang dimaksud dengan kerugian serius adalah kerugian nyata yang
diderita oleh industri dalam negeri. Kerugian tersebut harus didasarkan
pada (shall be based on)
fakta-fakta bukandidasarkan pada tuduhan, dugaan, atau perkiraan.
Ayat (1)
Dalam hal barang ekspor
Indonesia diperlakukan secara tidak wajar oleh
suatu negara misalnya dengan pembatasan, larangan, atau pengenaan
tambahan
bea masuk, barang-barang dari negara yang bersangkutan dapat dikenakan
tarif yang besarnya berbeda dengan tarif yang dimaksud dalam Pasal 12
ayat (1).
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Cukup Jelas.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
pembebasan bea masuk yaitu peniadaan pembayaran
bea masuk yang diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Huruf a
Yang dimaksud dengan
barang perwakilan negara asing beserta para
pejabatnya yaitu barang milik atau untuk keperluan perwakilan negara
asing tersebut, termasuk pejabat pemegang paspor diplomatik dan
keluarganya di Indonesia. Pembebasan ini tidak diberikan kepada pejabat
badan internasional yang memegang paspor Indonesia.
Huruf b
Yang dimaksud dengan
barang untuk keperluan badan internasional beserta
pejabatnya yaitu milik atau untuk keperluan badan international yang
diakui dan terdaftar pada Pemerintah Indonesia, termasuk para
pejabatnya yang ditugaskan di Indonesia. Pembebasan ini tidak diberikan
kepada pejabat badan international yang memegang paspor Indonesia.
Huruf c
Pembebasan bea masuk
diberikan berdasarkan rekomendasi dari kementerian
terkait terhadap buku-buku yang bertujuan untuk
meningkatkan ilmu pengetahuan dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa.
Huruf d
Yang dimaksud keperluan
ibadah untuk umum yaitu barang-barang yang
semata-mata digunakan untuk keperluan ibadah dari setiap agama yang
diakui di Indonesia.
Yang dimaksud dengan barang keperluan amal dan sosial yaitu barang yang
semata-mata ditujukan untuk keperluan amal dan sosial dan tidak
mengandung unsur komersial, seperti bantuan untuk bencana alam atau
pemberantasan wabah penyakit.
Yang dimaksud dengan barang untuk keperluan kebudayaan yaitu barang
yang ditunjuk untuk meningkatkan hubungan kebudayaan antarnegara.
Pembebasan bea masuk diberikan berdasarkan rekomendasi dari kementerian
terkait.
Huruf e
Cukup Jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan
barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan
ilmu pengetahuan yaitu barang atau peralatan yang digunakan untuk
memerlukan penelitian/riset atau percobaan guna peningkatan atau
pengembangan suatu penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi. Pembebasan bea masuk diberikan berdasarkan rekomendasi dari
kementerian terkait.
Huruf g s/d Huruf i
Cukup Jelas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan
barang contoh yaitu barang yang diimpor khusus
sebagai contoh, antara lain untuk keperluan produksi (prototipe) dan
pameran dalam jumlah dan jenis yang terbatas, baik tipe maupun merek.
Huruf k
Cukup Jelas.
Huruf l
Yang dimaksud dengan
barang pindahan yaitu barang-barang keperluan
rumah tangga milik orang yang semula berdomisili di luar negeri,
kemudian dibawa pindah ke dalam negeri.
Huruf m
Yang dimaksud dengan
barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut,
dan pelintas batas yaitu barang-barang yang dibawah oleh mereka
sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 10B ayat (3), sedangkan
barang kiriman yaitu barang yang dikirim oleh pengirim tertentu di luar
negeri kepada penerima tertentu di dalam negeri.
Huruf n
Cukup Jelas.
Huruf o
Yang dimaksud dengan
perbaikan yaitu penanganan barang yang rusak,
usang, atau tua dengan mengembalikannya pada keadaan semula tanpa
mengubah sifat hakikinya.
Yang dimaksud dengan pengerjaan yaitu penanganan barang, selain
perbaikan tersebut di atas, juga mengakibatkan peningkatan harga barang
dari segi ekonomis tanpa mengubah sifat hakikinya.
Pengujian meliputi pemeriksaan barang dari segi teknis dan menyangkut
mutu serta kapasitasnya sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Pembebasan atau keringanan dalamkhal ini hanya dapat diberikan terhadap
barang dalam keadaan seperti pada waktu diekspor, sedangkan atas bagian
yang diganti atau ditambah dan biaya perbaikan tetap dikenakan bea
masuk.
Huruf p
Pembebasan bea masuk
dapat diberikan terhadap barang setelah diekspor,
diimpor kembali tanpa mengalami proses pengerjaan atau penyempurnaan
apapun, seperti barang yang dibawa oleh penumpang ke luar negeri,
barang keperluan pameran, pertunjukan, atau perlombaan.
Terhadap barang yang diekspor untuk kemudian karena suatu hal diimpor
kembali dalam keadaan yang sama dengan ketentuan segala fasilitas yang
pernah diterimanya dikembalikan.
Huruf q
Bahan terapi manusia,
pengelompokan darah, dan bahan penjenisan
jaringan yaitu :
1) |
bahan terapi yang berasal dari manusia, yaitu darah manusia serta turunannya (derivatif) seperti darah seluruhnya, plasma kering albumin, gamaglobulin. fibrinogen serta tubuh. |
2) |
bahan pengelompokan darah yang berasal dari manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, atau sumber lain. |
3) |
bahan
penjenisan jaringan yang berasal dari manusia, binatang,
tumbuh-tumbuhan, atau sumber lain. |
Ayat (3)
Ayat ini memberikan
wewenang kepada Menteri untuk mengatur lebih lanjut
persyaratan dan tata cara yang harus dipenuhi guna memperoleh
pembebasan berdasarkan pasal ini.
Ayat (4)
yang dimaksud dengan tidak
memenuhi ketentuan antara lain digunakan
tidak sesuai dengan tujuan dan persyaratan yang ditetapkan, seperti
fasilitas
pembebasan bea masuk atas impor barang contoh yang tidak untuk
diperdagangkan, tetapi
pada kenyataannya diperdagangkan.
Pelangggaran atas
ketentuan tentang pembebasan ini ditemukan pada
pengawasan, penelitian kembali, dan/atau pelaksanaan audit kepabeanan.
Pembebasan bea masuk yang
diberikan dalam pasal ini yaitu pembebasan
yang relatif, dalam arti bahwa pembebasan yang diberikan didasarkan
pada beberapa
persyaratan dan tujuan tertentu, sehingga terhadap barang impor dapat
diberikan pembebasan
atau hanya keringanan bea masuk.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
keringanan bea masuk yaitu pengurangan sebagian
pembayaran bea masuk yang diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang ini.
Huruf a
Yang dimaksud dengan
penanaman modal pada huruf ini yaitu penanaman
modal asing dan penanaman modal dalam negeri sebagaimana ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Huruf b
Yang dimaksud dengan
mesin untuk pembangunan dan pengembangan industri
yaitu mesin, permesinan, alat perlengkapan instansi pabrik, peralatan,
atau perkakas yang digunakan untuk pembangunan dan pengembangan
industri.
Pengertian pembangunan
dan pengembangan industri meliputi pendirian
perusahaan atau pabrik baru serta perluasan (divesifikasi) hasil
produksi, modernisasi, rehabilitasi untuk tujuan peningkatan kapasitas
produksi
dari perusahaan atau pabrik yang telah ada.
Huruf c
Yang dimaksud dengan
barang dan bahan yaitu semua barang atau bahan,
tidak melihat jenis dan komposisinya, yang digunakan sebagai bahan atau
komponen untuk menghasilkan barang jadi, sedangkan batas waktu akan
diatur dalam keputusan pelaksanaannya.
Huruf d
Cukup Jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan
bibit dan benih yaitu segala jenis tumbuh-tumbuhan
atau hewan yang diimpor dengan tujuan benar-benar untuk dikembangbiakan
lebih lanjut dalam rangka pengembangan bidang pertanian, perkebunan,
kehutanan, peternakan, atau perikanan.
Huruf f
Yang dimaksud dengan
hasil laut yaitu semua jenis tumbuhan laut, ikan
atau hewan laut yang layak untuk dimakan seperti ikan, udang, kerang,
dan kepiting yang belum atau yang sudah diolah dalam sarana penangkap
yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan sarana penangkap yaitu satu atau sekelompok kapal
yang mempunyai peralatan untuk menangkap atau mengambil hasil laut,
termasuk juga yang mempunyai peralatan pengolahan.
Yang dimaksud dengan sarana penangkap yang telah mendapat izin yaitu
sarana penangkap yang berbendera Indonesia atau berbendera asing yang
telah memperoleh izin dari Pemerintah Indonesia untuk melakukan
penangkapan atau pengambilan hasil laut.
Huruf g
Dalam transaksi
perdagangan kemungkinan adanya perubahan kondisi barang
sebelum barang diterima oleh pembeli dapat saja terjadi.
Sedangkan perinsip pemungutan bea masuk dalam Undang-Undang ini
diterapkan atas semua barang yang diimpor untuk dipakai sehingga,
apabila terjadi perubahan kondisi (kerusakan, penurunan mutu,
kemusnahan, atau
penyusutan volume atau
berat karena sebab alamiah), barang tersebut
tidak sepenuhnya dapat dipakai atau memberikan manfaat sebagaimana
diharapkan, wajar apabila yang mengalami perubahan kondisi sebagaimana
diuraikan diatas tidak sepenuhnya dipungut bea masuk. Oleh karena itu
pembatasan pada saat kapan terjadinya perubahan kondisi barang
tersebut, yaitu antara waktu pengangkutan dan diberikannya persetujuan
impor untuk dipakai.
Huruf h
Yang dimaksud dengan
kepentingan umum yaitu kepentingan masyarakat yang
tidak mengutamakan kepentingan di bidang keuangan, misalnya proyek
pemasangan lampu jalan umum.
Huruf i s/d Huruf k
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan
tidak memenuhi ketentuan antara lain digunakan
tidak sesuai dengan tujuan dan persyaratan yang ditetapkan, seperti
fasilitas
keringanan bea masuk atas impor barang untuk keperluan olahraga tetapi
kenyataannya diperjualbelikan.
Pasal 27
Ayat (1)
Huruf a
Kesalahan tata usaha yang
dimaksud antara lain kesalahan tulis,
kesalahan hitung, atau kesalahan pencantuman tarif.
Huruf b
Cukup Jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan
sebab tertentu yaitu bahwa hal tersebut bukan
merupakan kehendak importir, melainkan disebabkan oleh adanya
kebijaksanaan pemerintah yang mengakibatkan barang yang telah diimpor
tidak dapat dimasukan ke dalam daerah pabean sehingga harus diekspor
kembali atau dimusnahkan dibawah pengawasan pejabat bea dan cukai dalam
kondisi yang sama.
Huruf d dan Huruf e
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Cukup Jelas.
Ayat (1)
Pada prinsipnya importir
bertanggung jawab atas bea masuk barang yang
diimpornya. Namun berdasarkan ketentuan dalam Pasal 30 ayat (1)
undang-Undang ini, importir baru dinyatakan bertanggung jawab atas bea
masuk sejak
didaftarkannya pemberitahuan pabean. Dengan demikian, sebelum
didaftarkannya
pemberitahuan pabean, tanggung jawab atas bea masuk berada pada
pengusaha tempat
penimbunan sementara, yaitu tempat penimbunan barang impor yang
bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Apabila barang impor yang
harus dilunasi bea masuknya terdiri dari
beberapa jenis dengan satu nama umum (golongan barang), sedangkan jenis
barang yang sebenarnya tidak dapat diketahui, sebagai dasar
penghitungan bea masuk,
diambil tarif tertinggi yang berlaku atas golongan barang tersebut dan
nilai
pabean ditetapkan oleh pejabat bea dan cukai.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan
dibulatkan jumlahnya dalam ribuan rupiah yaitu
dibulatkan ke atas sehingga bagian dari ribuan menjadi ribuan.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (1)
Kewajiban membayar bea
masuk yang timbul sebagaimana dimasud dalam
Pasal 2 harus dilunasi paling lambat pada tanggal pendaftaran
pemberitahuan
pabean atas impor.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan
penundaan yaitu penundaan bea masuk dalam rangka
fasilitas pembayaran berkala dan penundaaan pembayaran bea masuk karena
menunggu keputusan pembebasan atau keringanan.
Ayat (2a) dan Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Direktur Jenderal dapat
memberikan penundaan atau pengangsuran
pembayaran setelah mempertimbangkan kemampuan orang dalam membayar
utangnya dengan memperhatikan laporan keuangan dan kredibilitas orang
tersebut.
Ayat (3) dan Ayat (4)
Cukup Jelas.
Cukup Jelas.
Dengan berlakunya Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan
Pajak Dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2000, penagihan bea masuk dilakukan oleh Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai.
Ayat (1)
Tujuan pengadaan tempat
penimbunan berikat dalam Undang-Undang ini
yaitu memberikan fasilitas kepada pengusaha berupa penangguhan
pembayaran bea
masuk.
Yang dimaksud dengan Penangguhan yaitu peniadaan sementara kewajiban
pembayaran bea masuk sampai timbul kewajiban untuk membayar bea masuk
berdasarkan Undang-Undang ini.
Dalam tempat penimbunan berikat dilakukan kegiatan menyimpan, menimbun,
melakukan pengetesan (Quality Control), memperbaiki/merekondisi,
menggabungkan (kitting), memamerkan, menjual, mengemas, mengemas
kembali, mengolah, mendaur ulang, melelang barang, merakit
(assembling), mengurai
(disassembling), dan/atau membudidayakan flora dan fauna yang berasal
dari luar daerah
pabean tanpa lebih dahulu dipungut bea masuk.
Pengadaan tempat penimbunan berikat ini diharapkan dapat memperlancar
arus barang impor atau ekspor serta meningkatkan produksi dalam negeri.
Huruf a
Cukup Jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan
mengolah yaitu kegiatan memproses bahan mentah,
bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang
dengan nilai yang lebih tinggi.
Huruf c
Barang impor setelah
dipamerkan dapat direekspor atau dijual setelah
dilunasi bea masuk yang terutang.
Barang yang berasal dari dalam daerah pabean dapat diekspor setelah
memenuhi persyaratan ekspor sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Huruf d
Yang dimaksud dengan
orang tertentu yaitu warga negara asing yang
bertugas di Indonesia atau orang yang berangkat ke luar negeri.
Huruf e dan Huruf f
Cukup Jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan daur
ulang yaitu suatu kegiatan pengolahan limbah
dan barang lainnya menjadi produk yang mempunyai nilai tambah dan nilai
ekonomi yang lebih tinggi.
Ayat (1a)
Penetapan oleh menteri ini
guna mengantisipasi perkembangan industri
dan perdagangan internasional.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan
pengusahaan tempat penimbunan berikat yaitu
kegiatan usaha menyimpan, menimbun, melakukan pengetesan,
memperbaiki/merekondisi, menggabungkan (kitting), memamerkan, menjual,
mengemas, mengemas
kembali, mengolah, mendaur ulang, melelang barang, merakit
(assembling), mengurai (disassembling), dan/atau membudidayakan flora
dan fauna di tempat
penimbunanberikat.
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Huruf a dan Huruf b
Cukup Jelas.
Huruf c
yang dimaksud dengan
barang lainnya antara lain waste, scrap,
sisa/potongan, bahan baku yang rusak, dan/atau barang yang rusak.
Ayat (3)
Pengeluaran barang pada
ayat ini dilakukan tanpa bermaksud mengelakkan
pembayaran bea masuk karena telah diajukan pemberitahuan pabean dan bea
masuk telah dilunasi, tetapi pengeluaran barang tersebut dilakukan
tanpa
persetujuan pejabat bea dan cukai sehingga pelanggaran dikenai sanksi
administrasi
berupa denda.
Ayat (4)
yang dimaksud dengan
pengusaha tempat penimbunan berikat yaitu orang
yang benar-benar melakukan kegiatan usaha menyimpan, menimbun,
melakukan pengetesan, memperbaiki/merekondisi, menggabungkan (kitting),
memamerkan,menjual, mengemas, mengemas kembali, mengolah, mendaur
ulang, melelang barang, merakit (assembling), mengurai (disassembling),
dan/atau
membudidayakan flora dan fauna di tempat penimbunan.
Ketentuan pada ayat ini
menegaskan bahwa terhadap barang impor yang
wajib bea masuk, yang hilang dari tempat penimbunan berikat, kepada
pengusaha
tempat penimbunan berikat, wajib membayar bea masuk yang terutang dan
sanksi administrasi berupa denda.
Yang dimaksud dengan
pembukuan yaitu suatu proses pencatatan yang
dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi yang meliputi dan
mempengaruhi keadaan
harta, utang, modal, pendapatan, dan biaya yang secara khusus
menggambarkan jumlah
harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang kemudian
diikhtisarkan dalam
laporan keuangan.
Kewajiban menyelenggarakan pembukuan diperlukan untuk pelaksanaan audit
kepabeanan setelah barang dikeluarkan dari kawasan pabean.
Yang dimaksud dengan pengusaha pengangkutan yaitu orang yang
menyediakan jasa angkutan barang impor atau ekspor dengan sarana
pengangkutan di darat,
laut, dan udara.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan orang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berada di tempat bagi orang berupa badan hukum yaitu pimpinan badan
hukum
tersebut tidak berada ditempat. Yang dimaksud dengan yang mewakili
yaitu karyawan atau
bawahan atau pihak lain yang ditunjuk oleh orang sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal 49.
Ayat (1)
Pengaturan pada ayat ini
dimaksudkan agar dapat dihitung besarnya nilai
transaksi impor atau ekspor. Untuk menjamin tercapainya maksud
tersebut,
pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim
dipakai di Indonesia
misalnya berdasarkan standar akuntansi keuangan.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Laporan keuangan, buku
catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar
pembukuan, surat yang berkaitan dengtan kegiatan usaha termasuk data
elektronik,
surat yang berkaitan dengan kegiatan dibidang kepabeanan wajib disimpan
selama 10
(sepuluh) tahun di Indonesia dengan maksud agar apabila Direktur
Jenderal akan
melakukan audit kepabeanan, bukti dasar pembukuan dan surat yang
diperlukan masih
tetap ada dan dapat segera disediakan.
Dalam data tersebut berupa data elektronik, orang wajib menjaga
keandalan sistem pengolahan data yang digunakan agar data elektronik
yang disimpan dapat
dibuka, dibaca, atau diambil kembali setiap waktu.
Ayat (4)
Cukup Jelas
Cukup Jelas
Ayat (1)
Sesuai dengan praktik
kepabeanan Internasional, pengawasan lalulintas
barang yang masuk atau keluar dari daerah pabean dilakukan oleh
instansi pabean.
Dengan demikian, agar pelaksanaan pengawasan peraturan larangan dan
pembatasan
menjadi efektif dan terkoordinasi, instansi teknis yang bersangkutan
wajib
menyampaikan peraturan dimaksud kepada Menteri untuk ditetapkan dan
dilaksanakan
oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Barang yang dilarang atau
dibatasi impor atau ekspornya yang tidak
memenuhi syarat yaitu barang impor atau ekspor yang telah diberitahukan
dengan
pemberitahuan pabean, tetapi tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
diatur dalam
ketentuan larangan atau pembatasan atas barang yang bersangkutan.
Permintaan importir atau
eksportir untuk membatalkan ekspornya,
mereekspor, atau memusnahkan tidak dapat disetujui jika peraturan
perundang-undangan
yang berlaku menetapkan lain.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan
ditetapkan lain berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan telah mengatur secara khusus
penyelesaian barang
impor yang dibatasi atau dilarang, misalnya impor limbah yang
mengandung bahan
berbahaya dan beracun.
Penerapan sanksi
administrasi pada ayat ini tidak mengurangi ketentuan
pidana.
Perintah tertulis tersebut
dikeluarkan oleh ketua pengadilan niaga yang
daerah hukumnya meliputi kawasan pabean, yaitu tempat kegiatan impor
atau ekspor
tersebut berlangsung.
Dalam hal impor barang tersebut ditujukan ke beberapa kawasan pabean
dalam daerah pabean Indonesia permintaan perintah tersebut ditujukan
kepada dan
dikeluarkan oleh ketua pengadilan niaga yang daerah hukumnya meliputi
kawasan pabean pertama,
yaitu tempat impor barang yang bersangkutan ditujukan atau dibongkar.
Dalam hal
ekspor dilakukan dari beberapa kawasan pabean, permintaan tersebut
ditujukan kepada dan
dikeluarkan oleh pengadilan niaga yang daerah hukumnya meliputi kawasan
pabean pertama
yaitu tempat ekpor berlangsung.
Yang dimaksud dengan pengadilan niaga yaitu pengadilan niaga yang
berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 56
Cukup Jelas
Ayat (1)
Jangka waktu (sepuluh)
hari kerja tersebut merupakan jangka waktu
maksimum bagi penangguhan. Jangka waktu tersebut disediakan untuk
memberi kesempatan
kepada pihak yang meminta penangguhan agar segera mengambil
langkah-langkah
untuk mempertahankan haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Ayat (2)
Perpanjangan jangka waktu
penangguhan tersebut hanya dapat dilakukan
dengan syarat yang ketat untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan hak
untuk
memintapenangguhan.
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (1)
Pemeriksaan tersebut
dilakukan dalam rangka identifikasi atau
pencacahan untuk kepentingan pengambilan tindakan hukum atau
langkah-langkah untuk mempertahankan hak yang diduga telah dilanggar.
Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan sepengetahuan pejabat bea dan
cukai.
Ayat (2)
Karena permintaan
penangguhan tersebut masih berdasarkan dugaan,
kepentingan pemilik barang juga perlu diperhatikan secara wajar.
Kepentingan
tersebut, antara lain kepentingan untuk menjaga rahasia dagang atau
informasi teknologi
yang dirahasiakan, yang digunakan untuk memproduksi barang impor atau
ekspor
tersebut. Dalam hal demikian, pemeriksaan hanya diizinkan secara fisik,
sekedar
untuk mengidentifikasi atau mencacah barang-barang yang dimintakan
penangguhan.
Pasal 59
Cukup Jelas
Pasal 60
Yang dimaksud dengan
keadaan tertentu tersebut, misalnya kondisi atau
sifat barang yang cepat rusak.
Cukup Jelas
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
penindakan yaitu di bidang kepabeanan yang perlu
dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap barang yang
diduga
terkait dengan kegiatan terorisme dan/atau kejahatan lintas negara.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan
bahwa dalam melaksanakan tugas pengawasan
agar sarana pengangkut melalui jalur yang ditetapkan dan untuk
memeriksa
sarana pengangkut berupa kapal, pejabat bea dan cukai perlu dilengkapi
sarana
operasional berupa kapal patroli atau sarana pengawasan lainnya seperti
radio
telekomunikasi atau radar.
Yang dimaksud dengan kapal patroli yaitu kapal laut dan/atau kapal
udara milik Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang dipimpin oleh
pejabat bea dan
cukai sebagai komandan patroli, yang mempunyai kewenangan penegakan
hukum di daerah
pabean sesuai dengan Undang-Undang ini.
Ayat (2)
Kelengkapan kapal patroli
atau sarana lain dengan senjata api pada ayat
ini dimaksudkan untuk menghadapi bahaya yang mengancam jiwa atau
keselamatan pejabat bea dan cukai dan kapal patroli dengan
memperhatikan ketentuan
yang berlaku.
Semua instansi pemerintah,
baik sipil maupun militer bila diminta,
berkewajiban memberi bantuan dan perlindungan atau memerintahkan untuk
melindungi
pejabat bea dan cukai dalam segala hal yang berkaitan dengan
pekerjaaannya. Ketentuan dalam pasal ini menegaskan bahwa bantuan
sebagaimana dimaksud
di atas yaitu sehubungan dengan segala kegiatan yang dilakukan oleh
pejabat bea
dan cukai berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pasal 78
Wewenang pejabat bea dan
cukai yang diatur dalam ketentuan ini
dimaksudkan untuk menjamin pengawasan yang lebih baik dalam rangka
pengamanan keuangan
negara.
Ayat (1)
Ayat ini memberikan
wewenang kepada pejabat bea dan cukai untuk
melakukan pemeriksaan barang guna memperoleh data dan penilaian yang
tepat
mengenai pemberitahuan atau dokumen yang diajukan.
Dalam melaksanakan pemeriksaan ini pemilik barang atau kuasanya wajib
menghadiri pemeriksaan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan
menyerahkan barang untuk diperiksa pada ayat ini
yaitu menyiapkan barang di tempat pemeriksaan barang dan menyiapkan
peralatan
pemeriksaan sehingga pejabat bea dan cukai dapat melakukan pemeriksaan
fisik barang.
Ayat (3) s/d Ayat (5)
Cukup Jelas
Ayat (6)
Yang dimaksud salah pada
ayat ini yaitu kesalahan karena kelalaian.
Yang dimaksud pungutan negara di bidang ekspor pada ayat ini meliputi
bea keluar.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
pemeriksaan karena jabatan yaitu pemeriksaan yang
dilakukan oleh pejabat bea dan cukai karena kewenangan yang dimilikinya
berdasarkan Undang-Undang ini dalam rangka pengawasan.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (1) dan Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Ketentuan ini dimaksudkan
bahwa dalam hal orang yang bersangkutan telah
memenuhi kewajibannya, pejabat bea dan cukai segera memberikan
pelayanan
kepabeanan.
Pasal ini memberikan
wewenang kepada pejabat bea dan cukai untuk
melakukan pemeriksaan pabean terhadap barang tertentu di atas alat
angkut, ditempat pemuatan,
dan di tempat pembongkaran di dalam daerah pabean.
Pasal 86
Ayat (1)
Audit kepabeanan dilakukan
dalam rangka pengawasan sebagai konsekuensi
diberlakukannya;
Ayat (1a)
Huruf a
Audit kepabeanan bukan
merupakan audit untuk menilai atau memberikan
opini tentang laporan keuangan, tetapi untuk menguji tingkat kepatuhan
orang terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
kepabeanan.
Laporan keuangan diminta dalam kegiatan audit kepabeanan dengan tujuan
hanya untuk memastikan bahwa pembukuan yang diberikan oleh orang kepada
pejabat bea dan cukai adalah pembukuan yang sebenarnya yang digunakan
untuk mencatat kegiatan usahanya yang pada akhir periode diikhtisarkan
dalam laporan keuangan.
Selain itu, dengan laporan keuangan, pejabat bea dan cukai dapat
memperoleh informasi mengenai kegiatan orang yang berkaitan dengan
kepabeanan.
Pejabat bea dan cukai yang melaksanakan audit dilarang memberitahukan
kepada pihak lain yang tidak berhak terhadap segala sesuatu yang
diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh orang berkaitan dengan
audit yang dilaksanakannya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan
pihak lain yang terkait, yaitu pihak-pihak yang
mempunyai hubungan dengan orang yang terkait dengan transaksi yang
dilakukan oleh orang tersebut, misalnya pembeli di dalam negeri atas
barang impor, pembeli di luar negeri atas barang ekspor, pemasok di
luar
negeri atas barang impor, bank, dan pihak lain yang dilakukan oleh
orang, seperti
Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan.
Huruf c dan Huruf d.
Cukup Jelas
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan
bahwa perbuatan yang menyebabkan pejabat bea
dan cukai tidak dapat menjalankan wewenangnya mencakup perbuatan tidak
menyerahkan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi
bukti dasar
pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data
elektronik,
serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang
kepabeanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50.
Ayat (3)
Cukup Jelas
Cukup Jelas
Ayat (1)
Bangunan dan tempat lain
yang bukan rumah tinggal yang dimaksud dalam
ayat ini misalnya bangunan yang didirikan khusus untuk menyimpan barang
apa pun
dan pendirinya bukan dimaksudkan sebagai tempat usaha berdasarkan
Undang-Undang ini.
Apabila berdasarkan petunjuk yang ada bahwa di tempat tersebut terdapat
barang yang tersangkut pelanggaran, baik sebagai barang yang wajib bea
masuk
maupun yang dikenai peraturan larangan dan pembatasan. Direktur
Jenderal dapat
memerintahkan pejabat bea dan cukai untuk melakukan pemeriksaaan
terhadap tempat tersebut.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (1)
Penghentian dan
pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai
terhadap sarana pengangkut bertujuan untuk pengawasan dan dipatuhinya
peraturan
perundang-undangan yang pelaksanaannya dibebankan kepada Direktorat
Jenderal Bea
dan Cukai. Dengan demikian penghentian dan pemeriksaan sarana serta
barang di
atasnya hanya dilakukan secara selektif.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Ketentuan ini dimaksudkan
bahwa dalam melaksanakan pengawasan atas
sarana pengangkut yang melakukan pembongkaran barang impor, pejabat bea
dan
cukai berwenang untuk menghentikan pekerjaan tersebut jika ternyata
barang
yang dibongkar berdasarkan peraturan peraturan perundang-undangan yang
berlaku tidak boleh diimpor ke dalam daerah pabean.
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (1)
Huruf a
Pembetulan surat tagihan
kekurangan pembayaran bea masuk menurut
ketentuan ini dilaksanakan untuk menjalankan pemerintah yang baik
sehingga apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan manusiawi dalam
suatu
penetapan perlu dibetulkan sebagaimana mestinya.
Pengertian membetulkan dapat berarti menambah, mengurangi, atau
menghapus, sesuai dengan sifat kesalahan dan kekeliruannya.
Direktur Jenderal karena jabatannya dapat membetulkan atau membatalkan
surat tagihan kekurangan pembayaran bea masuk yang tidak benar,
misalnya tidak memenuhi persyaratan formal meskipun persyaratan
materialnya
telah terpenuhi.
Huruf b
Direktur Jenderal dapat
mengurangi atau menghapus sanksi administrasi
berupa denda apabila orang yang dikenai sanksi ternyata hanya melakukan
kekhilafan bukan kesalahan yang disengaja atau kesalahan dimaksud
terjadi akibat perbuatan orang lain yang tidak mempunyai hubungan usaha
dengannya serta tanpa sepengetahuan dan persetujuannya.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (1)
Ketentuan pada ayat ini
ditujukan untuk menjamin adanya kepastian hukum
dan sebagai manifestasi dari asas keadilan yang memberikan hak kepada
pengguna jasa kepabeanan untuk mengajukan keberatan atas keputusan
pejabat bea dan
cukai.
Waktu 60 (enam puluh) hari yang diberikan kepada pengguna jasa
kepabeanan ini dianggap cukup bagi yang bersangkutan untuk mengumpulkan
data yang
diperlukan guna pengajuan keberatan kepada Direktur Jenderal.
Dalam batas 60 (enam puluh) hari tersebut dilewati, hak yang
bersangkutan menjadi gugur dan penetapan dianggap disetujui.
Yang dimaksud dengan sebesar tagihan yaitu kekurangan bea masuk,
kekurangan pajak dalam rangka impor, dan sanksi administrasi berupa
denda.
Dalam hal tagihan telah dilunasi, keberatan tetap dapat diajukan tanpa
kewajibvan menyerahkan jaminan.
Ayat (1a)
Yang dimaksud dengan
barang belum dikeluarkan pada ayat ini yaitu
barang impor masih berada dalam kawasan pabean.
Pihak yang mengajukan keberatan bertanggung jawab terhadap impor yang
bersangkutan dan segala biaya yang mungkin timbul.
Ayat (2)
Penetapan jangka waktu 60
(enam puluh) hari kepada Direktur Jenderal
untuk memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan oleh pengguna
jasa
kepabeanan ini merupakan jangka waktu yang wajar mengingat Direktur
Jenderal juga
perlu melakukan pengumpulan data dan informasi dalam memutuskan suatu
keberatan yang diajukan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan
ditolak oleh Direktur Jenderal yaitu penolakan
oleh Direktur Jenderal yaitu penolakan oleh Direktur Jenderal atas
keberatan yang
diajukan sehingga penetapan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai
menjadi tetap.
Penolakan oleh Direktur Jenderal ini dapat pula berupa penolakan
sebagian atas keberatan yang diajukan, atau Direktur Jenderal
menetapkan lain dari
penetapan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai, dan penetapan ini
dapat lebih
besar atau lebih kecil pada penetapan pejabat bea dan cukai tersebut.
Ayat (4) s/d Ayat (6)
Cukup Jelas.
Ayat (1)
Keberatan yang dapat
diajukan yaitu keberatan terhadap penetapan
pejabat selain mengenai tarif dan/atau nilai pabean, misalnya penetapan
pencabutan
berupa fasilitas atau penetapan sebagai akibat penafsiran peraturan.
Ayat (2) dan Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Penetapan jangka waktu 60
(enam puluh) hari kepada Direktur Jenderal
untuk memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan oleh pengguna
jasa
kepabeanan ini merupakan jangka waktu yang wajar mengingat Direktur
Jenderal juga
perlu melakukan pengumpulan data dan informasi dalam memutuskan
keberatan
yang diajukan.
Ayat (5) s/d Ayat (8)
Cukup Jelas.
Cukup Jelas.
Pasal 102
Huruf a s/d Huruf c
Cukup Jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan
barang impor yang masih dalam pengawasan pabean
yaitu barang impor yang kewajiban pabeannya belum diselesaikan.
Contoh membongkar atau menimbun ditempat selain tempat tujuan yang
ditentukan atau diizinkan yaitu barang dengan tujuan tempat penimbunan
berikat A dibongkar atau ditimbun di luar tempat penimbunan berikat A.
Huruf e
Yang dimaksud dengan
menyembunyikan barang impor secara melawan hukum
yaitu menyimpan barang di tempat yang tidak wajar dan/atau dengan
sengaja menutupi keberadaan barang tersebut.
Yang dimaksud tempat yang tidak wajar antara lain di dalam dinding
kontainer, di dalam dinding koper, didalam tubuh, didalam dinding kapal
pada ruang
mesin kapal, atau tempat-tempat lain.
Huruf f dan Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Perbedaan pelanggaran yang
dimaksud dalam huruf ini dengan pelanggaran
dalam Pasal 82 ayat (5) yaitu bahwa pelanggaran ini didasarkan atas
perbuatan yang disengaja dan melawan hukum.
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan
pungutan negara di bidang ekspor yaitu bea keluar.
Huruf c
Yang dimaksud dengan
memuat yaitu memuat barang ekspor ke dalam sarana
pengangkut yang akan berangkat ke luar daerah pabean.
Huruf d
Ketentuan ini dimaksudkan
untuk mencegah pembongkaran kembali barang
ekspor yang telah dimuat di atas sarana pengangkut dengan tujuan utama
untuk mencegah ekspor fiktif, misalnya barang ekspor dimuat di semarang
untuk tujuan Singapura tetapi barang ekspor tersebut dibongkar di
Jakarta.
Huruf e
Cukup Jelas
Cukup Jelas.
Huruf a
Pengertian dokumen palsu
atau dipalsukan antara lain dapat berupa:
a. dokumen yang dibuat oleh orang yang tidak berhak;
b. dokumen yang dibuat oleh orang yang berhak tetapi memuat data tidak
benar.
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Memberi ketarangan lisan
sebagaimana dimaksud pada huruf ini terutama
untuk penumpang dan pelintas batas.
Huruf d
Ketentuan pidana ini
berhubungan dengan keadaan tempat ditemukannya
orang menimbun, memiliki, menyimpan, membeli, menjual, menukar,
memperoleh, atau memberikan barang impor yang berasal dari tindak
pidana penyelundupan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102.
Orang yang ditemukan menimbun, memiliki, menyimpan, membeli, menjual,
menukar, memperoleh, atau memberikan barang tanpa diketahui siapa
pelaku kejahatan dapat dikenai pidana sesuai dengan pasal ini. Akan
tetapi,
jika yang bersangkutan memperoleh barang tersebut dengan itikad baik,
yang bersangkutan tidak dituntut. Kemungkinan bisa terjadi, pelaku
kejahatan dapat diketahui, sehingga
kedua-duanya dapat dituntut.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
mengakses yaitu tindakan atau upaya yang dilakukan
untuk login ke sistem kepabenan.
Yang dimaksud dengan login yaitu memasuki atau terhubung dengan suatu
sistem elektronik sehingga dengan masuk atau dengan keterhubungan itu
pelaku
dapat mengirim dan/atau informasi. melalui atau yang ada pada sistem
eletronik.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Huruf a s/d Huruf c.
Cukup Jelas.
Huruf d
Ayat ini dimaksudkan untuk
mencegah dilakukannya pemalsuan atau
pemanipulasian data pada dokumen pelengkap pabean, misalnya invoice.
Yang dimaksud dengan
merusak yaitu merusak secara fisik atau melakukan
perbuatan yang mengubah fungsi kunci, segel atau tanda pengaman.
Pasal 107
Pasal ini menegaskan, jika
pengusaha jasa kepabeanan melakukan
pelanggaran terhadap Undang-Undang ini dalam melaksanakan pekerjaan
yang dikuasakan oleh
importir atau eksportir, yang bersangkutan diancam dengan pidana yang
sama dengan
ancaman pidana terhadap importir atau eksportir, misalnya, jika
pengusaha pengurusan
jasa kepabenan memalsukan invoice yang diterima dari importir sehingga
pemberitahuan
pabean yang diajukan atas nama importir tersebut lebih rendah nilai
pabeannya, pengusaha
pengurusan jasa kepabeanan dikenai ancaman pidana.
Pasal 108
Pasal ini memberikan
kemungkinan dapat dipidananya suatu badan hukum,
perseroan atau perusahaan, termasuk badan usaha milik negara atau
daerah dengan nama
dan dalam bentuk apa pun, bentuk usaha tetap atau bentuk usaha lainnya,
perkumpulan,
termasuk persekutuan, firma atau kongsi, yayasan atau organisasi
sejenis, atau koperasi dalam
kenyataan kadang-kadang orang melakukan tindakan dengan bersembunyi di
belakang atau
atas nama badan-badan tersebut diatas.
Oleh karena itu, selain badan tersebut, harus dipidana juga mereka yang
telah memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana atau yang
sesungguhnya melakukan
tindak pidana tersebut. Dengan demikian orang yang bertindak tidak
untuk diri
sendiri, tetapi wakil dan badan tersebut, harus juga mengindahkan
peraturan dan larangan yang diancam
dengan pidana, seolah-olah mereka sendirilah yang melakukan tindak
pidana tersebut.
Atas dasar hasil penyidikan, dapat ditetapkan tuntutan pidana yang akan
dikenakan kepada badan-badan yang bersangkutan dan/atau pimpinannya.
Sanksi pidana yang
dijatuhkan kepada badan tersebut senantiasa berupa pidana denda.
Pasal 109
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan
semata-mata digunakan untuk melakukan tindak
pidana yaitu sarana pengangkut yang pada saat tertangkap benar-benar
ditujukan untuk
melakukan tindak pidana penyelundupan.
Ayat (2a)
Yang dimaksud dengan dapat
dirampas yaitu memberikan kewenangan kepada
hakim untuk mempertimbangkan putusan dengan memperhatikan kasus per
kasus,
misalnya kapal yang hanya mengangkut barang tertentu dalam jumlah
sedikit
sedangkan kapal tersebut diperlukan sebagai alat angkut untuk menopang
perdagangan
ekonomi daerah tentunya diputuskan untuk tidak dirampas.
Ayat (3)
Secara umum, pelaksanaan
putusan pengadilan dilakukan oleh penuntut
umum. Namun, barang impor atau ekspor yang berdasarkan
putusan pengadilan
dinyatakan dirampas untuk negara, berdasarkan Undang-Undang ini menjadi
milik
negara yang pemanfaatannya ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 113A
Ayat (1)
Ayat ini mengamanatkan
setiap pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus mengutamakan fungsi
pelayanan maupun pengawasan dalam menghimpun dana melalui pemungutan
bea masuk, melindungi kepentingan masyarakat, kelancaran arus barang,
orang,
dokumen dan dapat menciptakan iklim usaha yang dapat lebih mendorong
laju
pembangunan nasional.
Ayat (2)
Mengingat dalam
pelaksanaan tugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
berkaitan erat dengan pengawasan dan pelayanan, pegawai bea dan cukai
yang
melaksanakan tugas dan wewenangnya harus mempertanggung jawabkan
perbuatannya di
hadapan Komisi Kode Etik apabila melanggar kode etik.
Ayat (3) dan Ayat (4)
Cukup Jelas
Cukup Jelas
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
pelanggaran kepabeanan yaitu pelanggaran
administrasi dan tindak pidana kepabeanan. Yang dimaksud dengan berjasa
dalam menangani:
Ayat (2) s/d Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (1)
Ketentuan pada ayat ini
dimaksudkan untuk menghindari penyalahgunaan
daerah perdagangan bebas (free trade zone)/ atau pelabuhan batas
terhadap
pemasukan dan/atau pengeluaran barang-barang larangan dan pembatasan
seperti
narkoba, senjata api, bahan peledak.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Yang dimaksud informasi
yang sifatnya tertentu yaitu informasi yang
menyangkut kerahasiaan negara atau yang berdasarkan aturan
perundang-undangan harus
dirahasiakan.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (1) dan Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Ketentuan pada ayat ini
sebagai upaya pengamanan keuangan negara yang
dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau pejabat pemeriksa
fungsional lain
berdasarkanUndang-Undang.
Ayat (4)
Permintaan hakim
sebagaimana dimaksud pada ayat ini, harus menyebutkan
nama tersangka, keterangan yang diminta serta kaitan antara perkara
pidana
yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta tersebut.
Cukup Jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4661